Proportional Sharing
(Model Optimasi Waduk Masa Depan)
Erni Murniati
Meskipun curah hujan mulai terjadi di beberapa wilayah, penurunan muka air Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, sudah mencapai aras (level) yang sangat mengkhawatirkan, bahkan mengerikan, yaitu 77,34 meter pada 15 September 2003 pukul 07.00.
Artinya, apabila muka air waduk menurun 2,34 meter lagi sehingga mencapai 75 meter, dipastikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatiluhur tidak dapat beroperasi dan harus dipasok oleh pembangkit listrik interkoneksi Pembangkit JawaBali untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti tenaga untuk pompa listrik Saluran Tarum Timur pemasok air ke daerah irigasi, domestik, dan industri dari Subang sampai dengan Indramayu.
Bahkan, Jakarta sebagai ibu kota negara akan terkena dampak langsungnya, seperti penurunan pasokan air minum, listrik yang implikasi dan biaya ekonomi, sosial, dan politiknya sangat luar biasa.
Sementara itu, untuk meningkatkan muka air Waduk Jatiluhur, maka harus memperhitungkan kondisi muka air dan pasokan kedua waduk di atasnya, yaitu Waduk Saguling dan Cirata yang sudah barang tentu mempunyai tugas dan fungsi berbeda.
Berbeda dengan Waduk Jatiluhur yang bersifat multiguna, yaitu untuk irigasi, air baku air minum, domestik, munisipal, dan industri, maka kedua waduk di atasnya-Saguling dan Cirata-bersifat tunggal, yaitu hanya untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas terpasang Saguling sebesar 700 MW dan Cirata 1.000 MW.
PLTA Jatiluhur sendiri hanya memiliki kapasitas terpasang sebesar 187,5 MW dan memberikan kontribusi terhadap produksi listrik nasional sebesar 1,7 persen.
Dalam pengoperasian sehari- hari, ketiga waduk ini diintegrasikan dalam satu pola operasi yang disebut pola operasi waduk kaskade Citarum dengan pendekatan equal sharing yang dilakukan setiap bulan Oktober oleh ketiga pengelola waduk, yaitu Perum Jasa Tirta II (Waduk Jatiluhur), PT Pembangkit Jawa Bali (Waduk Cirata), dan PT Indonesia Power (Waduk Saguling).
Pendekatan equal sharing sepintas tampak adil dan merata, namun dalam kondisi air yang terbatas pendekatan ini perlu menjadi kurang relevan karena dampak penurunan masing- masing waduk sangat berbeda.
Untuk itu, diperlukan mainstreaming metode alokasi dan distribusi air kaskade Citarum berdasarkan prioritas fungsi waduk agar dampak kekeringan yang terjadi dapat diminimalkan risikonya.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan dalam alokasi air agar nilai manfaat air dapat dimaksimalkan? Modifikasi equal sharing ke proportional sharing adalah jawabannya.
"Equal sharing"
Pola operasi didasarkan pada prinsip equal sharing, dengan tujuan agar mampu memenuhi kebutuhan air di hilir serta mengoptimalkan energi yang dibangkitkan oleh ketiga PLTA tersebut.
Prioritas pemenuhan kebutuhan air di hilir berdasarkan undang-undang diutamakan untuk air minum domestik, pertanian, industri, dan terakhir pembangkit listrik.
Masalahnya, sering kali pasokan air dari kedua waduk di hulu tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan air di hilir, sehingga Perum Jasa Tirta II harus mengoptimalkan sumber setempat di luar Citarum untuk menutupi kekurangannya.
Sementara itu, pasokan air dari sungai di luar Citarum cenderung menurun menurut ruang dan waktu akibat kerusakan lingkungan yang sudah tidak terkendali.
Dengan menerapkan prinsip equal sharing yang membagi air dalam sistem waduk kaskade Citarum secara merata, sehingga pada ketiga waduk tersebut harus memiliki kenaikan muka air (water level) yang sama, sebenarnya mempunyai banyak ketimpangan.
Argumentasinya, Waduk Jatiluhur yang harus menyangga kawasan strategis Ibu Kota dan kawasan Industri Pantura, akan mengalami tekanan kekurangan air lebih berat dibandingkan dengan dua waduk lainnya yang tidak secara langsung menyangga Jakarta.
Lebih jauh, karena pasokan air sudah tertahan terlebih dahulu di kedua waduk yang ada di bagian hulu, maka equal sharing akan mengalami distorsi dalam implementasinya.
Untuk itu, sudah selayaknya dalam kondisi air yang sangat terbatas seperti saat ini, maka metode alokasi dan distribusi air yang ada dapat dimodifikasi menjadi proportional sharing, sehingga daya dan nilai guna air dapat dimaksimalkan.
Sebaliknya, dalam kondisi berlebih, maka Waduk Cirata yang di hulu perlu menampung semaksimal mungkin agar pada saatnya terjadi penurunan air waduk dapat dialirkan ke waduk kaskade di bawahnya.
Sistem operasi waduk kaskade ini sangat ideal karena merupakan upscalling dari transfer air dalam teras sawah yang terbukti sangat efisien dalam: menampung, menyimpan, dan mendistribusikan air DAS.
Akan lebih baik lagi apabila metode proportional sharing dapat dikombinasikan dengan modifikasi transfer air dan pemanfaatannya pada lahan kering dan lahan sawah.
Untuk itu, selain ada proportional sharing, maka perlu dikembangkan konsep pengelolaan waduk tunggal yang mengintegrasikan daerah tangkapan dan pola operasi waduk dalam kaskade.
Waduk tunggal
Prinsip pengelolaan waduk secara tunggal, diupayakan dengan menahan air pada saat musim hujan dan mengalirkannya pada saat musim hujan.
Garis merah menunjukkan grafik kebutuhan air yang terdiri atas kebutuhan air untuk pertanian (irigasi), domestik, munisipal, dan industri (DMI). Kebutuhan air untuk DMI umumnya tidak berubah sepanjang tahun, sedangkan untuk kebutuhan irigasi dipengaruhi oleh pola tanam, pada masa pengolahan lahan/penjenuhan, dan pertumbuhan, memiliki kebutuhan air yang tinggi.
Berdasarkan karakteristik pola tanam dan luas tanam menurut ruang dan waktu daerah irigasi Jatiluhur, maka kebutuhan air untuk pertanian akan mengalami puncaknya pada bulan Juli sampai dengan bulan September.
Sementara itu, pasokan air pada periode tersebut secara klimatologis cenderung menurun. Suhu yang tinggi pada periode musim kemarau menyebabkan kehilangan air melalui evaporasi (tanah, air waduk) dan transpirasi tanaman mencapai puncaknya.
Kondisi ini merupakan penjelasan, mengapa kekeringan cenderung meningkat intensitas, durasi, dan luas arealnya, pada periode musim kemarau.
Untuk itu, pengoperasian waduk terpaksa harus mempertimbangkan kemungkinan tidak terpenuhi air pada saat kebutuhan puncak (arsir) dengan cara menampung air sebanyak- banyaknya pada saat musim penghujan, dengan mempertimbangkan ruang untuk pengendalian banjir (garis arsir merah).
Itulah sebabnya mengapa banyak pakar merekomendasikan agar waduk besar harus didukung (back up) dengan waduk kecil dalam jumlah banyak dengan penyebaran yang merata agar kelebihan volume pada musim hujan akibat kebutuhan air yang rendah dapat ditampung sebanyak mungkin dan selama mungkin.
Nilai manfaat lain konsep ini adalah terkendalinya sedimen di waduk utama, sehingga umur waduknya (life time) dapat dipertahankan. Sayangnya, masalah umur waduk yang sangat mengkhawatirkan ini tidak banyak dibahas, bahkan akses publik terhadap data sedimentasi sangat sulit untuk tidak menyebut tidak bisa. Padahal, kalau kita mau jujur, waduk adalah aset publik yang didanai dari pinjaman, sehingga sudah sewajarnya akses itu dibuka kepada publik.
Berdasarkan data historis volume air yang masuk ke Waduk Jatiluhur, diketahui bahwa rata-rata aliran Sungai Citarum adalah sebesar 5,77 miliar m³ per tahun. Dibandingkan dengan volume efektif ketiga waduk, yaitu Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, yang masing-masing sebesar 607 juta, 1,2 Miliar, dan 2,4 miliar m³ dengan total sebesar 4,2 miliar, maka secara teoretis matematis, seluruh aliran dapat dikendalikan. Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar karena faktanya setidaknya ada beberapa periode yang kondisi alirannya terjadi kering atau kondisi aliran basah. Artinya, diperlukan metode pengelolaan air waduk saat maupun pascakering.
Bagaimana pengelolaan pada saat musim kering dan pasca- kekeringan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka terlebih dahulu harus dapat direpresentasikan bagaimana kondisi tahun sebelumnya. Pada pengoperasian waduk, mau tidak mau kondisi tahun sebelumnya akan sangat berpengaruh pada kondisi setelahnya, karena berhubungan dengan konsep multi-years operation. Kondisi tahun 2002, aliran Sungai Citarum rata-rata sebesar 5,5 miliar m³ (Lihat Gambar 2), walaupun tidak sebasah pada tahun 1996 (El Nino terjadi pada tahun 1997), tetapi dampaknya pada tahun tahun 2003 ini lebih parah. Bagaimana hal ini terjadi? Pada tahun 2002 akhir, terjadi "kelebihan air" di Waduk Jatiluhur, di mana air yang ada harus disimpan, tidak disalurkan ke lahan karena pada saat itu lahan masih kelebihan air, bahkan terjadi genangan di lahan seluas lebih kurang 10.000 hektar.
Air yang seharusnya disalurkan tertahan di Waduk Jatiluhur, menyebabkan elevasi muka air Waduk Jatiluhur di akhir tahun 2002 lebih tinggi dari yang seharusnya.
Petani yang sudah mengolah lahan untuk musim rendeng MT 2002/2003 Oktober-April dan tergenang akibat banjir, harus kembali melakukan pengolahan lahan di bulan Februari yang menyebabkan kebutuhan air semakin meningkat di awal 2003.
Kebutuhan air yang meningkat disertai dengan pasokan air yang lebih rendah dari umumnya terjadi (debit Sungai Citarum pada bulan Juli hanya mencapai 18 m³ per detik, pada periode yang sama tahun 1997 mencapai 78 m³ per detik) menyebabkan simpanan air di Waduk Jatiluhur merosot secara signifikan.
Pola operasi kering
Apa yang harus dilakukan pada kondisi air sangat terbatas dan tidak menentu pasokannya serta pada saat bersamaan terjadi kekeringan? Tidak ada cara lain yang dapat dilakukan selain menghemat air. Seperti halnya air yang tertampung sekarang di Waduk Jatiluhur, kita anggap sebagai suatu tabungan, terserah apakah akan dikeluarkan sekaligus sekarang, atau sedikit demi sedikit sesuai dengan cadangan.
Beberapa risiko harus diperhitungkan dalam alokasi dan distribusi air secara temporal. Misalnya, apabila seluruh volume air dikeluarkan sekaligus sekarang untuk menggenjot luas tanam, maka konsekuensinya apabila tidak segera turun hujan akan menyebabkan adanya risiko kekeringan pada padi yang sudah mengalami tanam terlebih dahulu.
Sebaliknya, dengan menyusun prioritas lahan yang akan dibudidayakan, maka risiko kekeringan dapat diminimalkan. Itulah sebabnya jasa ramalan meteorologi yang akurat sangat diperlukan dalam pola operasi waduk agar alokasi dan distribusi air dapat dimaksimalkan manfaatnya.
Pada kondisi air yang terbatas, maka implementasi metode pemberian air irigasi gilir -giring yang merotasi air sampai ke lahan sangat direkomendasikan.
Mekanisme ini menuntut kepiawaian juru pengairan dan adanya kerja sama yang baik antara petugas dengan petani.
Erni Murniati Peneliti Biro Litbang Perum Jasa Tirta II
Wednesday, April 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment