PRAXIS DAN Nalar
Setelah Fichte sampai pada pandangan bahwa konsep mengenai indi- vidu dan konsep mengenai hak adalah syarat-syarat dari kesadaran- diri, menjadilah bagian Schelling,--yang menganggap sistem idealisme transendental-nya merupakan suatu perbaikan/penyempurnaan atas penemuan-penemuan filosofikal Fichte--, untuk menambahkan: sejarah, karenanya, merupakan landasan kesadaran-diri.1) Ia merupakan penjelasan dari aku mutlak; selnya adalah aksi mutlak (penempatan-diri melalui posisi-kontra--self-positing through contraposition--; negasi dari negasi). Sejarah dengan struktur tesis-antitesis-sintesisnya adalah sesuatu yang bersifat derivatif dan subordinat; ia merupakan cara untuk realisasi-diri dari aku mutlak, yang sendirinya tidak ditentukan secara temporal.2)
Bagi Schelling aku (Inteligensi) [pada hakekatnya bersifat praktikal.
Ia timbul melalui suatu tindak original penentuan-nasib-sendiri (kebebasan); penentuan-nasib-sendiri inteligensi merupakan kebutuhan dalam arti yang paling luas, transendental, proses (praktikal) yang bebas.3)
Teori hak dan teori sejarah diintegrasikan oleh Schelling menjadi sistem metafilosofikal dari idealisme transendental, yang mau tidak mau disejajari oleh suatu filsafat alam baru. Karenanya, ia telah memperdalam unifikasi filsafat teoretikal dan filsafat praktikal itu, dan dengan itu Fichte telah memperbesar ontologi tradisional dan menambahkan suatu dimensi baru.4)
Hegel melangkah lebih jauh ketika mengembangkan ide aktivitas mutlak dan azas nalar praktikal menjadi suatu sistem filosofikal yang lengkap.5) Segala sesuatu yang ada atau yang kita inginkan bebas, masuk akal dan otonom mesti mempunyai struktur aktivitas mutlak, menempatkan-diri melalui antitesis, negasi dari negasi. Dan segala sesuatu yang memiliki suatu struktur analog adalah masuk akal (misalnya, negara burjuis konstitusional, cinta, dan dalam suatu bentuk tidak lengkap--organisme-organisme alam).
Hegel menyadari kenyataan bahwa ia melangkah maju lewat garis-garis yang dibentuk orang-orang lain yang membuat azas-azas pertama praktikal. Dalam tulisan-tulisan Jena mengenai filsafat legal ia sependapat bahwa Kant dan Fichte sudah menegakkan yang mutlak dalam filsafat praktikal.6)
Namun mereka tidak menyelesaikannya secara konsisten dalam konstruksi suatu sistem menyeluruh mengenai filsafat yang didasarkan pada aktivitas mutlak, dan ini tidak bisa tidak mesti dikoreksi.
Unifikasi filsafat teoretikal dan praktikal dirinci dalam konsepsi baru Hegel mengenai spekulasi dan karenanya dalam konsepsinya mengenai teori ilmiah (filsafat). Ilmu yang benar mesti bersesuaian dalam objekt dan isi dengan yang mutlak (keabadian, kebebasan). Kant dan Fichte lebih mempersoalkan kekekalan7) (yaitu, tidak-keterbatasan, tidak-kebersyaratan, tidak-ketergantungan, otonomi, kebebasan) daripada filsuf-filsuf sebelumnya, tetapi konsepsi mereka mengenai yang tidak-bersyarat dan kebebasan masih bersifat tidak-membebaskan. Ini disebabkan karena ia didasarkan pada otonomi individu dan teori kontrak negara. Pemahaman seperti itu mengenai kebebasan, pikir Hegel, membawa pada pengutukan. Fichte menganggap berpikir (aktivitas teoretikal) sebagai terbatas, sedang manusia dianggapnya tidaklah terbatas dalam kebutuhan-kebutuhannya (prilaku bebas); Hegel memutar-balikkan karakteristik-karakteristik itu: manusia hanya tidak-terbatas dalam pikiran, dalam teori, sedangkan dalam aktivitas bebas hanyalah rakyat yang terorganisasi dalam suatu negara politikal adalah bebas, dari situlah negara berdaulat itu. Membuat bentuk-bentuk kehidupan burjuis mutlak dalam arti legal yang mencerminkan mereka adalah rahasia dari unifikasi Hegelian dari filsafat teoretikal dan praktikal.
Ide Kant mengenai kebebasan sebagai dasar seluruh struktur filsafat direalisasi di sini dengan pemenuhan postulat Kantian mengenai unifikasi nalar teoretikal dan nalar praktikal sebagai suatu azas lebih tinggi, nalar, yang adalah esensi dari roh mutlak.
Metafisika tradisional pra-Kantian diubah dalam Phenomenology of Mind dan Science of Logic, tetapi logika ini adalah teori mengenai aksi mutlak--nalar praktikal--adalah praxeologi yang dimistifikasi dan karenanya adalah ontoteologi.
Hanya di dalam suatu unifikasi ontoteologikal dari filsafat teoretikal dan filsafat praktikal pandangan-pandangan Hegel mengenai perbedaan dan hubungan antara aktivitas teoretikal dan aktivitas praktikal dalam wilayah kesadaran (wilayah roh subjektif pokok),8) yang mempertahankan suatu arti otentik, sebagaimana juga analisis Hegel mengenai kerja manusia.
Jika dengan Fichte, Schelling dan Hegel, filsafat legal mempunyai suatu tempat khusus dalam pertimbangan-pertimbangan metafilosofikal, maka dalam penjelasan Marx mengenai problem-problem pokok filosofikal dan teoretikal, kritik ekonomi politik memainkan suatu peranan khu-sus, yaitu, analisis teoretikal mengenai praxis ekonomi kapitalis sebagai bentuk dasar dari praxis dalam keadaan-keadaan historikal tertentu.
Secara historikal konsepsi rasionalitas dalam karya ekonomik Marx dapat dikarakterisasi sebagi bersesuaian dengan tahap pertama dari kritisisme (teoretikal dan praktikal) komunis atas masyarakat burjuis, di mana negasi kehidupan burjuis dan bentuk-bentuk pikiran secara revolusioner terjadi di dalam bentuk-bentuk yang diciptakan oleh modal, subjekt paling berkuasa dalam sejarah.
Bersamaan dengan itu, salah satu hasil dari konsepsi baru Marx adalah ketika proses praktikal dari kehidupan mempunyai suatu sifat yang berbeda dari kapitalisme klasik, akan perlulah untuk menyertakan hubungan-hubungan baru dalam menjelaskan problem-problem ontopraxeologikal (yaitu, peletakan dasar pengetahuan kita mengenai praxis manusia dan alam) dan untuk memikirkan hal ini.
Marx tidak kembali pada suatu onologi pra-Kantian yang menganggap pengetahuan sebagai cermin dari dunia objektif yang tidak dimediasi oleh praxis. Ini berarti saIa dengan perumusan aporia usaha itu. Filsafat transendental Jerman bertindak dalam arah sebaliknya. Ia menghendaki kesatuan subjekt dan objekt, kemungkinan pengetahuan dijelaskan dengan menganggap keberadaan objektif sebagai produkt dari kesadaran. Di sini timbullah laporia baru, kaena keberadaan yang dideduksi berada dalam praxis bebas di luar kesadaran. Tanpa pengetahuan sebelumnya, setidak-tidaknya dalam bentuk impuls Fichtean, Aku praktikal tidak dapat dideduksi. Aporia dari jenis usaha idealis transendental itu mulai diungkap dan dikritik oleh Feuerbach ketika ia menunjukkan bahwa idealisme transendental tidak menenal keberadaan sesungguhnya yang tidak dimediasi di luar pikiran, bahwa karenanya ia dipesonakan oleh kesadaran. Marx menganggap hubungan keberadaan, praxis dan nalar dalam hubungan dengan konsekuensi-konsekuensi dari kedua usaha itu dan menawarkan suatu pemecahan baru. Ia merujuk pada filsafat transendental sejauh itu dicerminkan dalam teori kebebasan sebagai swa-reproduksi, kebertepatannya spontanitas dan reseptivitas dalam struktur-struktur tertentu adalah analog dengan struktur-struktur praxis manusia. Bersamaan dengan itu Marx menerobos filsafat transendental, melepaskan kesadaran sebagai suatu ukuran, dan kembali pada empirisisme. Ini--dari titik tinggi filsafat klasik Jerman--berarti kembali pada sesuatu yang secara esensial tidak filosofikal dan tidak ilmiah. Namun, itu adalah suatu empirisisme baru yang difahami sebagai non-identitas teori dan praxis atas dasar suatu unifikasi teori dan praxis yang difahami (dan dijalankan) secara baru. Ini adalah suatu empirisisme yang memahami pengalaman sebagai praxis, yang berarti bahwa kontra-posisi pra-Kantian mengenai suatu a posteriori dan suatu a priori kini kehilangan arti aslinya.
Bagi Descartes, titik pangkal satu-satunya bagi kepastian mutlak adalah cogito, ergo sum; Fichte adalah yang pertama yang memodifikasi titik pangkal subjektif itu menjadi subjektif-bebas, subjektif-praktikal--sekalipun bersamaan dengan itu ia bersandar pada azas-azas metafisikal dari spekulasi idealis. Dari sudut pandangan materialisme praktikal maka titik pangkal itu tidak pernah cogito, ergo sum itu, dan tidak pernah pula aku adalah aku praktikal, teoretikal dan menciptakan-diri-sendiri, melain kehidupan dan pengetahuan dari orang-orang individual, aktif dan praktikal di mana eksistensi, non-identitas dan hubungan keberadaanku yang sadar-diri dengan keberadaanku yang objektif (alami, sosial) yang ekstra-kesadaran ditempatkan (posited). Ketidak- tentuan titik pangkal itu tidak dapat disangkal, karena ia merupakan sekedar titik pangkal, bukan suatu azas filsafat--yang tidak mengubah apapun, karena ia adalah satu-satunya fundamentum inconcussum bagi pejelasan masalah-masalah ontopraxeologikal dari pendirian materialisme praktikal.9)
Dalam Marxisme kita menemukan suatu tipe teori baru. Dalam tipe kuno, yang secara klasik diungkapkan oleh Aristoteles, kita mendapatkan suatu konsepsi teori kontemplatif sebagai titik fokus prilaku manusia, yang mempunyai makna dan merupakan suatu tujuan itu sendiri. Dalam zaman burjuis, konsepsi dasar dari hubungan teori dengan praxis adalah utilitarian dan teknikal; ia berhasil melalui ilusi-ilusi mengenai keutamaan teori yang semurninya supra-historikal (nalar, termasuk nalar praktikal, dalam filsafat klasik Jerman). Dalam tipe teori itu, teori itu sendiri tidak difahami sebagai suatu aspek dari praxis yang diubah secara historikal. Ini telah diungkapkan dalam filsafat, sejak pemikir- pemikir filsafat klasik Jerman, yang merumuskan unifikasi dari filsafat teoretikal dan filsafat praktikal, menjulukkan pada bentuk-bentuk pikiran ini suatu watak mutlak dan kekal yang diterima oleh dunia burjuis sebagi masuk akal. Itu tidak hanya berlaku bagi Hegel, melainkan juga bagi Kant dan Fichte dan lain- lainnya. Dalam pengertian itu Marx mencatat dalam tesis ke sebe-las mengenai Feuerbach: para filsuf cuma menafsirkan dunia, sedangkan soalnya adalah untuk mengubah dunia itu. Kualitas kontemplatif yang dimaksudkan oleh Marx di sini bukanlah yang dari tipe Aristotelian, karena filsuf-filsuf yang tipikal dari zaman burjuis menaroh perhatian pada hal-hal praktikal. Marx hanya bermaksud mengatakan bahwa para filsuf, yaitu penganut-penganut pandangan terbalik mengenai peranan teori masuk-akal semurninya, tidak menangkap hubungan teori dan praxis dalam arti materialis praktikalnya, yaitu, terminologi Marxian masa kini; mereka adalah tawanan-tawanan ideologi. Karenanya semua kritik mereka mengenai dunia yang ada dan program-program mereka bagi perubahannya tetap berada dalam batas-batas bentuk kehidupan burjuis; semua itu cuma kata-kata hampa, interpretasi-interpretasi yang berbeda-beda dari apa yang sudah ada. Suatu kritik yang mempresuposisikan nalar supra-historikal di atas praxis tidak dapat memberikan program yang dapat dilaksanakan bagi perubahan dunia burjuis.
Terdapat argumen-argumen bagi pandangan--ini adalah di luar jangkauan tulisan ini--bahwa perjuangan sekarang ini untuk pemecahan problem-problem ekonomik, politikal, teknikal, emosional dan moral berlangsung dalam keadaan-keadaan--berkat antara lain hasil-hasil gerakan buruh revolusioner--yang berbeda dari keadaan-keadaan yang ditentukan oleh modal dan dari negasi revolusioner keadaan-keadaan itu, dengan penyimpanan bentuk-bentuk dasar lama dari praxis material. Karenanya ada tekanan agar diterangkan persoalan-persoalan dasar mengenai suatu tipe rasionalitas baru yang sesuai dengan dimulainya tahap kedua dalam kritisisme revolusioner atas bentuk-bentuk praxis sosial burjuis. Jika penelitian ini dilakukan melalui prosedur-prosedur materialis-dialektik logikal yang ditemukan oleh Marx, maka ini menandakan suatu pengakuan atas pertalian historikal dari konsepsi Marxian mengenai rasionalitas sebagai suatu pertimbangan mengenai bentuk-bentuk pikiran yang beralih/berubah secara historikal dalam kritik ekonomi politik.10)
Bersamaan dengan itu, esensi metode Marxian--konsepsi materialis praktikal mengenai realitas dan teori--telah menjadi topikal (menjadi pokok pembicaraan zaman sekarang), sebagaimana yang disusun dalam kritik atas ekonomi politik burjuis dan atas filsafat spekulatif, khususnya Hegel. Hanya dengan merujuk pada unsur-unsur ini dan pada esensi metodologikal dari teori Marxian adalah mungkin untuk mencapai kemajuan dengan masalah-masalah ontopraxeologikal pada paroh kedua abad ke duapuluh.
Catatan:
1. Lihat F.W.J. Schelling, System des tranzendentalen Idealismus, Tubingan, 1800, hal. 417
2. Ibid., hal. 246, 296
3. Ibid., hal. 324-5
4. Ibid., hal. 327
5. Lihat Fichte, Werke, vol.2, hal. 451, 453
6. Hegel, Werke, ed. Lasson, ed. 2, vol. 7, Leipzig, 1923, hal. 331
7. Ibid., hal. 361
8. Ibid., vol.3, hal. 25, 34, 38; vol.7, par. 4
9. Lihat The German Ideology, hal. 507
10. Apabila kita mengakui anti-dogmatisme yang sekedar tampaknya saja mengenai pengontologisan teori Marx mengenai fetishisme barang-dagangan dan menjadikannya mutlak, maka kita melihat bahwa usaha-usaha teoretikal ini merupakan suatu tahapan yang digantikan, bahkan apabila mereka itu penting bagi penghancuran konsepsi-konsepsi dogmatikal di wilayah-wilayah lain.
Alih bahasa: Ira Iramanto
Wednesday, April 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment