Wednesday, April 1, 2009

KANT DAN MARX

KANT DAN MARX
oleh Jindrich Zeleny

Penggantian Ontologi Tradisional

Praxis dan Nalar




Dengan memperhatikan hasil-hasil kita dalam tulisan ini, akan kita coba meluaskan pandangan kita tentang materialisme praktikal Marx, dan memeriksa apakah itu sesuatu yang baru dalam filsafat, atau apakah itu suatu posisi praktikal dan teoretikal baru.

Ada alasan-alasan tertentu untuk memeiksa hubungan antara Kant dan Marx. Ini bukan suatu masalah untuk menghidupkan kembali suatu usaha oleh kaum Marxis neo-Kantian tertentu dari Internasionale Kedua untuk meluaskan Marxisme melalui teori Kantian mengenai persepsi dan untuk menginterpretasi kembali metode ilmiah Marx dalam semangat Kantianisme. Setelah publikasi manuskrip-manuskrip Paris Marx tahun 1844 dan bahan persiapan tahun 1857-8 bagi Capital, maka tidak dapat dipertahankannya usaha itu menjadi jelas sekali.

Marx bukanlah seorang pengritik nalar dalam artian khusus Kantian.

Dalam pengertian lain, sebagai seorang pengritik dari semua filsafat spekulatif dan khususnya filsafat Hegel mengenai nalar, tidak diragukan lagi Marx adalah seorang kritikus nalar. Dalam kritik mengenai nalar Hegelian, Marx merumuskan konsepsinya tentang penggantian semua metafisika dan ontologi tradisional, tidak hanya ontologi pra-Kantian, melainkan juga filsafat transendental yang diderivasi dari Kant.

Kant menduga bahwa dirinya telah memprakarsai suatu revolusi dalam konsepsi mengenai dan pemecahan atas problem-problem metafilosofikal. Dengan cara itu Kant menegaskan--sebelum Feuerbach dan Marx--bahwa metafisika tradisional telah sampai pada akhirnya. Namun sebagai jawaban pada pandangan-pandangan Kant mengenai penghancuran ontologi pra-kritikal, telah timbul sistem-sistem filosofikal yang di dalamnya Feuerbach dan Marx mengenali pertahanan yang makin menguat dari metafisika. Bagi pemikir-pemikir pasca-Hegelian akhir dari metafisika berarti akhir dari filsafat spekulatif.

Dalam hubungan itulah tampak beralasan untuk bertanya: adakah putusnya hubungan Marx dengan tradisi filosofikal, sejauh hal ini menjangkut pikiran ilmiah, berarti kembali pada pikiran pra-kritikal, pada ontologi tipe pra-Kantian atau pada empirisisme pra-Kantian yang afilosofikal--ataukah itu melepaskan/meninggalkan Kant dalam karya teoretikal atau apakah itu suatu usaha untuk dengan suatu cara baru memecahkan masalah-masalah suatu kritik atas metafisika pre-Kantian, suatu kritik yang dimulai oleh Kant?

Seandainya merupakan kemungkinan terakhir, adakah orang dapat melihat dalam kritik Marx atas nalar spekulatif Hegelian itu, penggunaan dan suatu pengajuan tertentu dari azas-azas Kant?

Namun, Marx telah berbuat lebih daripada sekedar menyumbang pada filsafat. Ia melihat pemecahan masalah-masalah sosial--dan sebagai salah satu dari aspek-aspeknya: teoretikal--dari zamannya dalam suatu gerakan revolusioner praktikal yang berjuang menggantikan bentuk-bentuk burjuis dari aktivitas manusia dengan bentuk-bentuk kehidupan baru komunis. Satu aspek integratif--yang tidak dapat diabaikan--dari proses revolusioner itu adalah aktivitas ilmiah, teristimewa konsepsi praxis1) sebagai ilmu positif--ilmu aktivitas praktikal, proses praktikal dari perkembangan orang-orang (ilmu positif--pengajuan aktivitas praktikal, proses praktikal dari perkembangan orang-orang).2) Kritik mengenai ekonomi politik dan masyarakat burjuis pada umumnya, yang dilakukannya dalam karya-karya berikutnya, dianggap oleh Marx menjadi titik pangkal; bagi ilmu kritikal positif, pada prinsipnya tidak terbatas, tepat sebagaimana dalam materialisme praktikal praxis manusia menciptakan isi-isi dan bentuk-bentuk baru.

Bagaimana dimungkinkan adanya suatu ilmu positif yang menangkap praxis?

Dengan Marx tidak ada persoalan membangun suatu ilmu seperti itu--dalam arti suatu kritik nalar Kantian--karena Marx akan memandang masalah suatu sikap/pendirian bagi materialisme praktikal itu sendiri adalah tidak-kritikal, berarti kembali pada berfilsafat spekulatif.

Karena Marx--sejauh yang diketahui--tidak secara tegas-tegas bertentangan dengan kritik nalar semurninya Kantian, maka kita dapat merekonstruksi, misalnya berdasarkan The German Ideology, argumen-argumen Marxian yang dalam prinsip meninggalkan bentuk Kantian dalam pengajuan pertanyaan itu. Pengetahuan manusia--dan tidaklah ada jenis-jenis pengetahuan lainnya--adalah suatu aktivitas khusus dari orang-orang sesungguhnya, yang ditentukan oleh pembagian kerja, orang-orang sebagaimana mereka berproduksi dalam presuposisi-presuposisi dan syarat-syarat material dan intelektual tertentu. Pikiran, khususnya pikiran ilmiah, adalah suatu aspek dari proses kehidupan praktikal, sosial dan individual dari orang-orang itu.

Karena tidak mungkin ada penelitian mengenai masalah penyusunan ilmu dalam bentuk abstrakt (dalam pengertian Marx), spekulatif ideologikal, maka dari awal mesti kita catat bahwa kesadaran dan pikiran manusia adalah justru bentuk-bentuk keberadaan khusus itu; mereka hanya ada sebagai aspek-aspek proses praktikal kehidupan manusia. Karena hal ini sejak awal tidak dipertimbangkan oleh Kant, maka mesti kita tolak bentuk yang dipakainya untuk mengajukan persoalan pembangunan ilmu itu.

Bagi Marx analisis mengenai proses kehidupan praktikal yang sesungguhnya dalam masyarakat burjuis merupakan landasan bagi analisis dan kritik mengenai bentuk-bentuk pikiran ilmiah yang khas bagi zaman kapitalis, dan ini adalah landasan bagi suatu pemahaman mengenai tipe-tipe rasionalitas bersangkutan. Dalam hal ini konsepsi Marxian mengenai pembangunan pengetahuan adalah negasi dan penolakan secara azasi tidak hanya jalan pemecahan Kant melainkan juga caranya mengajukan persoalan itu.

Mari kita sekarang menerangkan dalam hal apa konsepsi ilmu Marx berkembang mengikuti garis-garis yang dimulai oleh Kant.

Dalam tulisan kita mengenai perbedaan antara Marx di satu pihak, dan Feuerbach, Hess dan Stirner di pihak lain, kita mendapatkan bukti bahwa Marx lebih radikal dalam prakarsa teoretikal dan lebih dalam terkait dengan suatu revolusi filosofikal yang dimulai oleh Kant. Jika hal ini benar, maka hasilnya adalah, bahwa kesimpulan Kroner--bahwa perkembangan filosofikal dari Kant hingga Hegel merupakan satu keseluruhan, suatu bab yang utuh dalam pikiran, yang harus diterima sebagaimana adanya, yang tidak membawa kita hingga ke luar perbatasan-perbatasannya--haruslah diperjelas lagi. Dalam arah yang telah ditentukan oleh Kant tidak ada kemajuan lebih lanjut, Kroner berkata, jika mesti ada seorang penerus Hegel, maka suatu awal baru haruslah dibuat.3)

Yang penting bagi kita di sini adalah sifat dari awal baru Marx, hubungannya dengan karya yang dimulai oleh Kant.

Ketika Marx di dalam tesis pertamanya mengenai Feuerbach mempertentangkan/ membedakan pemahamannya mengenai realitas dengan pemahaman Feuerbach, Marx mengumumkan ditinggalkannya filsafat transendental oleh dirinya dan sekaligus mengumumkan penilaiannya mengenai sumbangan-sumbangan teoretikal filsafat transendental itu. Kekurangan utama dari materialisme hingga saat itu, menurut Marx, dikarenakan:

...bahwa sesuatu, realitas, penginderaan, ditanggapi hanya dalam bentuk objekt atau kontemplasi/perenungan, dan tidak sebagai aktivitas manusia inderawi, praktek, tidak secara subjektif. Karenanya, bertentangan dengan materialisme, sisi aktif dikembangkan secara abstrakt oleh idealisme -- yang, dengan sendirinya, tidak mengenal aktivitas inderawi yang sesungguhnya sebagai mana adanya.4)

Sifat berkeping-kepingnya tesis pertama mengenai Feuerbach memungkinkan sekurang-kurangnya dua penafsiran. Apakah Marx mau mengatakan bahwa objekt itu, realitas itu mesti difahami tidak hanya sebagai persepsi objekt-objekt tetapi juga sebagai aktivitas manusia, praxis? (Kemudian timbullah pertanyaan-pertanyaan berikutnya tentang tidak hanya--tetapi juga ini. Atau, apakah kritik Marxian atas Feuerbach dan materialisme sebelumnya mesti difahami secara begini: bahwa realitas mesti difahami semata-mata sebagai aktivitas manusia, dan bahwa tidak ada realitas dalam bentuk objekt-objekt?

Dari bagian kedua tulisan ini aku menyimpulkan bahwa tesis pertama mengenai Feuerbach tidak harus diinterpretasikan sebagai suatu pemulangan semua realitas pada aktivitas praktikal manusia--sebagaimana cenderung dilakukan oleh Lukacs muda, misalnya dalam karyanya yang berpengaruh besar: History and Class Consciousness.5) Karenanya kita mengambil interpretasi pertama sebagai titik pangkal kita. Menurut Marx, kesalahan Feuerbach bukanlah karena tidak diakuinya keberadaan objekt-objekt, dibedakan dari objekt-objekt pikiran dan dari aktivitas intelektual, melainkan karena itu diakui secara sangat sempit, yaitu tidak-historikal.6) Karena pada umumnya Feuerbach bekerja dengan hubungan-hubungan sosial dan sejarah, maka ia mencoba menerangkan segala sesuatu dalam batasan-batasan realisasi esensi manusia, yang difahaminya secara tidak historikal sebagai sekedar kualitas-kualitas alamiah dari species.

Tidak sependapat dengan itu, Marx menekankan bahwa esensi manusia pada segala masa adalah produksi historikal. Sejarah tidaklah diproduksi oleh roh dunia ataupun oleh manusia, tetapi oleh orang-orang sebagaimana mereka sesungguhnya adanya, yang berarti--menurut Marx: sebagaimana mereka bekerja secara material dan intelektual. Pada setiap tahapan dalam sejarah kita mendapatkan suatu hubungan dengan alam yang diciptakan secara historikal dan suatu hubungan timbal balik dari individu satu dengan lainnya; hubungan-hubungan timbal-balik ini dinyatakan dalam pengertian tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produksi tertentu, dan setiap generasi mewarisinya dari pendahulu-pendahulu mereka. Keadaan-keadaan dan tenaga-tenaga produksi yang diwarisi itu dimodifikasi oleh generasi-generasi baru, tetapi mereka juga menentukan keadaan-keadaan kehidupan mereka. Karenanya orang dapat mengatakan bahwa keadaan-keadaan membuat orang-orang presis sama sebagaimana orang-orang membuat keadaan-keadaan.7)

Dengan cara itu Marx sampai pada apothegm yang paling fundamental:

perubahan keadaan dan aktivitas manusia (atau perubahan diri-sendiri mereka) bertepatan dan dapat difahami dan dimengerti secara rasional hanya sebagai praxis revolusioner.8)

Bagi Marx esensi manusia adalah aktivitas real manusia yang pasti dan kadang-kadang dalam bentuk-bentuk historikal perubahan-diri-sendiri yang dapat disesuaikan, dengan suatu kesatuan sosial individual membuat keadaan dan situasi-situasi yang dibuat oleh keadaan,9) dan itu mempunyai landasan realnya pada objektivitas sosial yang dihasilkan oleh generasi-generasi terdahulu. Perbedaan antara masyarakat burjuis dan masyarakat non-burjuis terdiri atas--menurut Marx--kenyataan bahwa bagi yang disebut terlebih dulu, masa-lalu menguasai masa-kini, belakangan masa-kinilah yang menguasai masa-lalu.10)

Dari sudut pandangan materialisme praktikal, kedudukan berlawanan secara tradisional dari kesadaran dan objekt, pikiran dan keberadaan, tampak terlalu sederhana dan abstrakt. (Abstrakt dalam pengertian Marx dihubungkan pada konsep terpisah dari orang-orang real Feuerbachian. Bagaimanapun, Marx menggantikan pemahaman ideologikal Feuerbachian mengenai manusia dengan konsepsinya sendiri; karenanya abstrakt--konkret mendapatkan suatu arti lain. Juga, bagi Marx, Feuerbach adalah abstrakt dalam semua konsepsi filosofikalnya karfena ia kekurangan pemahaman praktikal historikal mengenai manusia dan mengenai realitas.)

Feuerbach memahami kesatuan kesadaran dan objekt, pikiran dan keberadaan, secara dualistik dengan cara kontemplatif, ataupun ia paling-paling sampai pada suatu interaksi timbal balik yang tidak-historikal antara kesadaran dan objekt, pikiran dan keberadaan, suatu kesatuan dari keduanya yang difahaminya secara naturalistik. Hubungan sesungguhnya dari pikiran dan keberadaan adalah ini: keberadaan itu adalah subjekt, pikiran adalah predikatnya. Pikiran diderivasi dari keberadaan, tetapi keberadaan tidak diderivasi dari pikiran.11)

Bagi Marx, pikiran adalah suatu momen dari keberadaan,12) dan dengan keberadaan Marx memaksudkan konsepsi praktikalnya mengenai realitas. Berdasarkan keberadaan yang difahami seperti itu, Marx membeda-bedakan berbagai bentuk objektivitas: (i) objektivitas yang diciptakan oleh orang-orang melalui interaksi individu-individu secara timbal-balik sesuai dengan keadaan-keadaan sosial yang berbeda-beda, tampil berlawanan dengan individu-individu aktif sebagai suatu kekuasaan asing, atau bukan suatu objektivitas yang dialienasi, namun satu aspek dari realisasi-diri manusia secara sadar; (ii) objektivitas yang tidak dimediasi oleh aktivitas orang-orang, yang kadang-kadang hadir tanpa perbuatan manusia,13) dan menurut keadaan-keadaan historikal menjadi atau tidak menjadi substratum material bagi kerja dan kehidupan manusia; (iii) suatu objektivitas, antara lain, bagi subjektivitas manusia, sebagai suatu aspek dari praxis. Marx tidak puas dengan hubungan pikiran dan keberadaan, pikiran dan berbagai bentuk objektivitas, hubungan subjekt-predikat yang digunakan Feuerbach. Ini mempre-suposisikan suatu struktur substansial-atributif yang mau kita karakterisasi dalam batasan subjekt-predikat. Namun, bagi Marx, hubungan pikiran dengan realitas yang difahami secara praktikal mempunyai suatu struktur berbeda, dan karenanya karakterisasi Feuerbach tidaklah cocok bagi Marx.

Tugas ilmiah memahami praxis bagaimanapun tidak ditunaikan oleh Marx dalam Theses on Feuerbach dan The German Ideology dalam pengertian suatu materialisme praktikal, karena perumusan- perumusan umum dari suatu konsepsi baru yang non-objektivistik dan non-subjektivistik mengenai realitas belumlah disusun. Juga hubungan yang umum dengan yang khusus, seperti semua persoalan metafilosofikal tradisional lainnya, difahami secara baru dalam materialisme praktikal Marx.

Jika kita memahami perumusan-perumusan umum ini (subjektivitas-objektivitas, esensi manusia, dsb.) sebagai abstraksi-abstraksi supra-historikal, maka kita akan--menurut Marx--meninggalkan landasan historikal kita dan mendapatkan diri kita kembali di dalam dunianya ideologi.14) Abstraksi-abstraksi itu sendiri, jika terpisah dari sejarah real, tidak mempunyai nilai.15) Namun, jika mereka difahami sebagai abstraksi-abstraksi historikal, maka mereka--seperti dicoba didemon-strasikan oleh Marx dalam polemiknya terhadap Stirner--mempunyai arti metodologikal dan metafilosofikal yang besar sekali. Mereka adalah suatu aspek dari pengetahuan real dan tidak bisa tanpanya untuk memahami praxis, karenanya bagi praxis revolusioner yang real.

Analisis ekonomik Marx, dengan konsepsi-konsepsinya yang eksplisit atau implisit mengenai berbagai jenis keberadaan, hubungan subjektivitas dan objektivitas, spontanitas dan reseptivitas, otonomi dan heteronomi, alam dan sejarah, dsb., adalah--menurut pendapatku--relevant bagi metafilosofi, bukannya sebagai konkretisasi sekedarnya dari keadaan-keadaan umum supra-historikal, melainkan sebagai suatu teori yang mengkarakterisasi dan mengandung pandangan metafilosofikal baru.

Antropologi pasca-Hegelian Feuerbach melihat dalam perkembangan dari Kant hingga Hegel hanya suatu rasionalisi teologi dandari situ suatu penutupan tertentu dari kesenjangan antara yang mutlak dan manusia, dan kemudian suatu peralihan dari teisme sebagai suatu bentuk kasar dari alienasi esensi manusia kepada filsafat antropologikal sebagai suatu penemuan kembali species-mahluk manusia. Dalam pengertian itu filsafat spekulatif Jerman mempunyai arti-penting historikal yang besar sekali.16)

Dari sudut pandangan materialisme praktikal, Marx mengungkapkan radikalisme semu Feuerbach dan Stirner dan kemudian menunjukkan betapa kedua filsuf itu tetap berada dalam alam tradisi. Sebaliknya, Marx menekankan arti-penting filsafat transendental Jerman --yang diabaikan oleh Feuerbach--bagi perkembangan suatu ilmu yang mampu memahami praxis.

Suatu interpretasi terperinci mengenai hubungan materialisme baru Marx dan perkembangan sisi aktif dalam idealisme Jerman dapat dimulai dari deduksi transendental dari konsep mengenai pemahaman semurninya Kant, di mana pengalaman dan realitas eksperiental secara hakiki difahami sebagai aktivitas intelektual dan produkt dari aktivitas intelektual, maka itu sebagai suatu bentuk aktivitas tertentu. Kita akan harus melanjutkan dengan radikalisasi transendentalisme Kantian oleh Fichte dengan melepaskan hal-ikhwal dalam dirinya sendiri (ding an sich, thing in itself) dan membebaskan kita untuk memahami hubungan subjekt-objekt, dan keberadaan sebagai produksi; dengan peluasan Schelling atas ide Kantian mengenai suatu pola-dasar intelektual dan perkayaan transendentalisme melalui suatu dimensi sosial historikal; dengan perhatian Hegel untuk memberikan suatu teori yang lebih konsisten mengenai keseluruhan pengalaman dan suatu teori yang lebih konsisten mengenai kebebasan, teori-teori mengenai swa-reproduksi roh atas dasar transendentalisme, daripada Kant, Fichte dan Schelling. Marx mengritik filsafat Hegel mengenai swa-generasi roh dalam Economic and Philosophical Manuscripts ketika ia mengemukakan presuposisi-presuposisi filosofikal kritiknya mengenai ekonomi politik dan teori komunismenya yang Feuerbachian.

Swa-reproduksi kesadaran-diri filosofikal seperti yang dilukiskan dalam Phenomenology Hegel dijelaskan sebagai suatu ungkapan spekulatif bagi swa-generasi historikal manusia; konsepsi ini kemudian dituangkan kembali dalam The German Ideology, sesudah penolakan Marx atas unsur-unsur ideologikal dan eskatologikal dari sumber-sumber Feuerbachian dan Hegelian, dengan suatu pemahaman kritikal dan praktikal yang lebih maju mengenai realitas--materialisme baru.

Latar belakang sosial yang praktikal bagi kebanyakan konsepsi filsafat klasikal Jerman yang paling penting, termasuk Hegel, dibentuk oleh hubungan-hubungan historikal (suatu hubungan historikal khusus antara individu dan masyarakat) dan bentuk-bentuk ketergantungan pada alam, dan penguasaan alam oleh manusia yang menyertai era burjuis, teristimewa zaman Revolusi Perancis; setiap problem praktikal memperoleh ungkapannya, dalam batasan-batasan teoretikal dan metafilosofikal, dalam suatu perumusan baru mengenai problem kebulatan tekad dan penentuan nasib sendiri.

Masalah sentral Kant, dari mana diderivasi pertanyaan pembukaan Critique of Pure Reason mengenai kemungkinan penilaian-penilaian sintetik a priori, dapat dirumuskan secara berikut di bawah ini:

Jika makhluk otonom tidak dapat didamaikan dengan realitas Newtonian, yang mempunyai suatu tempat yang tidak tergoyahkan dalam ilmu alam, dan jika tidak ada keraguan lagi mengenai adanya mahluk otonom (terutama agen moral yang sadar), azas-azas filosofikal pertama apakah yang mampu menangkap keadaan itu dan memahami koeksistensi mereka, kesatuan mereka?

Ini adalah masalah hubungan antara yang alami dan yang manusiawi, kesatuan mereka, yang difahami oleh Kant sebagai alamiah dan manusiawi secara tertentu. Yang Alamiah adalah penampilan (permunculan/rupa), hanya secara ilmiah dapat diperoleh di dalam batas-batas ilmu alam Newtonian.

Manusia dalam arti semestinya adalah eksistensi yang tidak ditentukan dalam waktu dan ruang, tidak tampaknya disebabkan, maka itu bukan suatu objekt pengetahuan ilmiah karena ia berada di luar jangkauan mekanisme-mekanisme alamiah: ia adalah agen moral yang menentukan kemauannya sendiri lewat suatu hukum moral manusia sebagai tujuan akhir (dalam terminologi Kantian: kemauan yang bertindak bebas). Bagi realitas yang menentukan-diri-sendiri ini, bagi suatu pemahaman akan tipe keberadaan ini, orang tidak boleh mengunakan definisi-definisi yang berlaku bagi penampilan- penampilan/permunculan-permunculan ini. Pelaku yang bertindak melalui kausalitas bebas adalah real secara khusus, berbeda dari gejala alam, dan realitas sui generis membuka kemungkinan-kemungkinan baru--bukan pengetahuan ilmiah, tetapi pengetahuan yang untuk sebagian, sekurang-kurangnya dalam suatu lingkungan terbatas mengungkapkan dirinya adalah dirinya sendiri.

Ini menimbulkan masalah hubungan-hubungan dan kesatuan dari satu pemahaman seperti itu mengenai yang alami dan yang manusiawi, alam dan manusia. Kant memecahkan masalahnya dalam artian suatu koeksistensi dualistik: mekanisme-mekanisme alamiah berlaku dalam alam penampilan-penampilan, kebebasan terdapat dalam alam intelek. Jika penampilan-penampilan dan benda-benda dalam dirinya sendiri tidak dapat dibeda-bedakan, maka Spinozisme akan menjadi alternatif yang tidak bisa dihindari, yaitu suatu sistem filosofikal, yang --menurut Kant-- tidak mengenal penentuan nasib sendiri dalam arti sebenarnya dan membiarkan kebebasan tenggelam dalam suatu konsep keharusan yang fatalistik.

Konsep mengenai kebebasan bagi Kant adalah kunci dalam seluruh susunan nalar semurninya:17) karena itu ia memulai dengan azas-azas filosofikal pertama di mana struktur-struktur yang swa-menentukan, yang analog pada aku otonom memiliki keutamaan/keprimeran, sehingga struktur-struktur lainnya mempunyai suatu peranan derivatif. Dengan cara itu Kant mengosongkan suatu tempat dalam filsafat bagi masalah penentuan-nasib-sendiri sebagaimana yang ditunjukkan dalam tindakan manusia (pilihan di bawah hukum moral); ia bertanggung-jawab atas perkembangan penting dalam azas-azas pertama filosofikal: ia memanusiawikan masalah penciptaan, sedangkan sebelumnya, metafisika Kristiani telah menempakannya dalam suatu bentuk teralienasi, yang memberikan tempat utama pada masalah penciptaan ilahi dan hubungan manusia dengannya.

Masalah sentral bagi kurun filosofikal dari Kant hingga Marx adalah masalah kebebasan manusia, bagaimana membuat manusia bebas.Beban pikira Kant adalah perjuangannya untuk membuat konsep mengenai alam dan konsep mengenai kebebasan bertepatan, sehingga ia terutama bersangkutan dengan kebebasan manusia sebagaimana itu berkaitan dengan bentuk-bentuk burjuis dari kehidupan sosial dan individual--dengan individu bebas sebagai burjuis (agen juridikal) dan dengan Rechts-staat (Negara Hukum)

Jika kita memperhatikan problem sentral dalam kritik Marx mengenai Hegel dan kaum Hegelian Muda, --pada pokoknya semua problem lainnya dapat dipulangkan ke situ--, kita mendapati bahwa ini juga masalah dari hubungan kebebasan manusia dan keharusan alami, hubungan dan kesatuan manusia dengan alam, yang mencakup sifat kedua-nya, yaitu karya-karya objektif manusia.

Konsepsi sentral dalam pendirian filosofikal yang dicapai oleh Marx dalam Theses on Feuerbach dan The German Ideology bukanlah hubungan substansi dan subjekt, juga bukan consep manusia pada umumnya, atau materi pada umumnya, bahkan juga bukan azas sebagaimana yang difahami dalam ontologi-ontologi terdahulu, melainkan pemahaman praktikal mengenai realitas dan kebenaran.

Ontologi pra-kritikal digantikan oleh penelitian dan dipceahkannya problem-problem ontopraxeologikal, yang mau tidak mau diperbarui dalam perkembangan material manusia, praxis intelektual, yaitu problem-problem yang dilukiskan dalam Theses on Feuerbach.

Dalam arti itulah orang dapat melihat dalam pemahaman praktikal Marx mengenai realitas suatu jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh ontologi tradisional dan filsafat transendental Jerman. Jawaban ini mempresuposisikan penghancuran ontologi dogmatik pra-Kantian dan timbul dari filsafat transendental.

Pendirian ontopraxeologikal Marx bertautan dengan transenden-talisme sekedar reseptor/penerima. Kedua-duanya meneliti ke dalam mediasi realitas dan kebenaran manusiawi. Jelas ada suatu perbedaan besar dalam cara Kant dan Marx menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kritisisme historikal praktikal dari Marx memiliki dimensi-dimensi baru: namun, hubungan historikal dengan kritik nalar Kant adalah penting sekali.

Dalam tiga hal Marx tampaknya lebih dekat pada Kant daripada pada pemenuhan idealis dari filsafat transendental dalam dialektika Hegel mengenai nalar:

(a) Dalam pandangan Hegel adalah suatu kekurangan kritisisme Kantian, bahwa pendirian mutlaknya hanyalah manusia dan kemanusiaan. Karenanya tidak diakui bahwa filsafat hanya dapat melangkah dari Tuhan, melainkan lebih, sebagaimana dikatakan, dari manusia.19) Dalam pengertian itu Marx pada suatu tingkat baru b balik pada Kant, karena ia melihat alpha dan omega semua teori pada manusia, bagaimana mereka itu khususnya aktif, dalam hubungan-hubungan khusus sosial dan alam yang secara historikal berubah.

(b) Mengenai hubungan Marx dengan matematika kita dapat mengatakan bahwa itu sesuatu yang berbeda dari kritik Hegelian dari Leibniz dan Kant, dan membuktikan suatu pendekatan kembali pada Kant. Sekali Marx menolak pengetahuan martematikal sebagai suatu kemutlakan, ia tidak memandang--sebagaimana Hegel memandang--bahwa pengetahuan matematikal itu bersifat lebih-rendah dan klas-dua, tanpa mengharap menjadi benar-benar ilmiah. Ia menggantikan ini dengan semakin kuat menggunakan matematika, teristimewa dalam hubungannya dengan dialektika, sebagaimana ditunjukkan, misalnya, dengan suratnya pada Engels pada bulan Mei 1873 mengenai kemungkinan suatu risalah mengenai hukum-hukum krisis-krisis ekonomi. Di dalam The German Ideology Marx secara tegas menolak filipika belletristik (belletristic philippics) yang diderivasi dari tradisi Hegelian, terhadap kuantifikasi.20)

(c)Dalam pengakuannya mengenai keterbatasan nalar manusia, Marx agaknya lebih dekat pada Kant daripada pada Hegel, sekali pengetahuan manusia dkifahami secara berbeda oleh kedua pemikir itu--dengan Kant, suatu perbedaan supra-historikal antara pengetahuan eksperimental dan benda dalam dirinya sendiri; dengan Marx, suatu hasil dari pemahamannya secara praktikal dan historikal mengenai realitas.

Karenanya, dalam konsepsi-konsepsi tertentu Marx mendekati titik berangkat filsafat transendental Jerman, albeit pada suatu tingkat baru: ia bereaksi pada perkembangan-perkembangan pasca-Kantian dalam filsafgat transendental dan menjadikannya persiapan bagi teorinya.

Catatan:

1. Cf. Theses on Feuerbach, hal. 661

2. The German Ideology, hal. 38-9

3. R. Kroner, Von Kant bis Hegel, ed.2, Tubingen, 1961, hal. 6

4. Theses on Feuerbach, hal. 659

5. Lihat Lukacs, Geschichte und Klassenbewusstsein, Berlin, 1923, hal. 28, 160

6. The German Ideology, hal. 58-9

7. Ibid., hal. 50-1

8. Theses on Feuerbach, hal. 666; lihat juga The German Ideology, hal. 233-4

9. Ibid., hal. 59

10. Lihat Karl Masrx dan Frederick Engels, Communist Manifesto, dalam Selected Works, hal. 47-8

11. Zur Kritik der Hegelschen Philosophie, hal. 84

12. The German Ideology, lhal. 288-90

13. Capital, vol.1, hal. 157

14. Lihat The German Ideology, hal. 41-2 f., 670

15. Ibid., hal. 38-9

16. Zur Kritik der Hegelschen Philosophie, hal.l 96 ff.

17. Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, terj. T.K. Ab-bott, ed. 6, London, 1909, hal. 87. (Selanjutnya disebut Critique of Practical Reason.)

18. The German Ideology, hal. 101

19. Hegel, Werke, ed. H. Glockner, ed. 3, vol.1, Stuttgart, 1958, hal. 291

20. Cf. The German Ideology, hal. 577

Alih bahasa: Ira Iramanto

No comments: