"Rule of Law" atau "Rule of Survival"?
Oleh Stephanus Djunatan
Melintasi Jalan Siliwangi menuju Ciumbuleuit di Bandung pada pukul 7.00-8.00 adalah sebuah perjuangan hidup-mati. Yang terlihat, antrean panjang mobil yang tergesa-gesa menuju tempat kerja dan memadati ruas Jalan Siliwangi.< Jalan ruas memadati dan kerja tempat menuju tergesa-gesa yang mobil panjang antrean terlihat, Yang hidup-mati. perjuangan sebuah adalah 7.00-8.00 pukul pada Bandung di Ciumbuleuit Siliwangi>
Mobil-mobil itu terus maju dengan tidak sabar. Sementara, pengendara motor maju terus, selip sana selip sini. Mobil pun tak mau kalah, bila bisa menyodok, memanfaatkan celah, tak peduli sempit, supaya bisa lebih maju dari mobil lainnya.
Kita bisa lihat sepeda motor meliak-liuk ke sana ke mari menerobos barisan mobil, tidak memedulikan batas marka jalan. Pokoknya mengikuti iring-iringan motor di depannya, bahkan bila perlu menyalip, tak peduli ada di tengah ruas jalan yang arahnya berlawanan. Pokoknya tidak terjebak macet, bermanuver menghadapi arus balik kendaraan yang menuju Dago.
Serta-merta saya menyadari apa yang terjadi itu lebih banyak bernuansa "bagaimana selamat dan mencapai tujuan" daripada "mengikuti aturan main" supaya lalu lintas yang macet menjadi tertib. Saya tidak lagi mengikuti aturan bahwa kendaraan apa pun tak bisa melintasi marka pemisah lajur kanan-kiri di jalan. Ikut antrean, maka selamat. Tidak. Saya tidak menganggap aturan lalu lintas membantu saya. Aturan lalu lintas justru membuat saya sampai ke tujuan. Lebih baik bertahan dan berupaya tetap "selamat" demi mencapai tujuan.
Mungkin itu juga fenomena di jalan-jalan raya di kota besar. Motor dan mobil jenis apa pun pasti berupaya "cepat tetapi selamat" sampai tujuan. Aturan nomor dua. Lalu, di manakah rule of law? Ini pertanyaan rumit, sebab rule of law mengandaikan berkuasanya hukum demi penertiban umum. Hukum jadi jaminan; hukum jadi pegangan perilaku. Yang dapat diamati di jalan raya justru berlakunya rule of survival. Survival atau bertahan hidup dan selamat lebih penting ketimbang aturan demi penertiban umum. Untuk bisa bertahan hidup, macam-macam cara bisa menjadi sah.
Jangan-jangan perilaku (sebagian) orang Indonesia ini berdasar rule of survival ketimbang rule of Law. Tidak usah jauh-jauh, misalnya, amati saja di kampus. Mahasiswanya (sebagian) berjuang supaya tetap dapat nilai bagus, supaya lulus dengan IPK memadai, supaya bisa diterima kerja. Maka, menyontek tugas ujian apalagi skripsi adalah cara "tepat untuk survive di perguruan tinggi". Hal yang sama juga terjadi pada (sebagian) dosen. Misalnya demi sesuap nasi, proyek lebih penting daripada pengajaran; demi karier, profesionalitas, menjiplak karya orang lain tak jadi masalah; mengklaim sebuah riset yang dilakukan tim sebagai hasil riset pribadi. Itu baru sebagian.
MEMBAYANGKAN pemerintahan yang bersih, birokrat yang bertanggung jawab, masyarakat yang melek hukum adalah bagian dari impian yang dibangun berdasarkan rule of law. Ketika negara ditempelkan pada hukum, peraturanlah nakhodanya. Negara hukum menjamin kesejahteraan bersama atau bonum commune melalui hukum. Ketertiban yang dibayangkan filsuf GWF Hegel kok berasa "naif". Seperti orang tak kenal pengalaman hidup yang "tak kenal ampun" (terutama di Nusantara ini). Kenyataannya, di Nusantara rule of survival lebih banyak menjadi panutan. "Yang penting tetap hidup". Pedoman ini menjadi ukuran. Maka, segala cara pun boleh.
Persis hukum rimba? Kenyataannya begitu. Apalah arti sebuah tanda larangan berhenti di pinggir jalan? Hiasan saja mungkin. Angkot lebih suka berhenti karena rezeki melambaikan tangan di pinggir jalan tepat di bawah tanda larangan berhenti itu. Apakah itu menghentikan orang lain dan jalan jadi macet? Ini urusan kedua. Ini soal setoran, soal sesuap nasi buat anak-istri.
Pengemudi lain mungkin belok seenaknya karena dengan begitu lebih cepat sampai ke tujuan. Pengendara lain, maklum toh sebentar saja, yang penting saya dulu! Masyarakat Nusantara ini seperti penghuni rimbakah? Itu baru di jalan raya. Bagaimana di lembaga pemerintahan? Di perusahaan swasta? Di tempat kerja umumnya? Semangat "saya dulu, supaya bertahan hidup" rupanya kental merasuk dalam-dalam kesadaran (kita). Kalau sudah begini, jargon-jargon bangsa peramah, bangsa toleran, bangsa yang manusiawi jauh dari maknanya.
BAGAIMANA penyelesaiannya? Mau cara Thomas Hobbes? Buat saja negara yang amat kuat dan amat memaksa, sang Leviathan. Negara yang kuat dan memaksa itu menggunakan aparatusnya untuk mengendalikan perilaku rimba warganya. Dengan demikian, jaminan agar tiap orang tidak makan orang lain demi survival terpenuhi. Negaralah yang mengendalikan perilaku warganya. Setiran-tirannya penguasa bila hasilnya masyarakat yang "aman dan terkendali" akan didukung warganya. Buktinya, sudah banyak orang yang rindu kembali ke zaman Soeharto yang "aman dan terkendali". Seperti dulu, orang tua mendambakan kembalinya "zaman normal" masa penjajahan.
Jika tidak mau negara versi Hobbes, Leviathan? Ada pilihan lain?
Tidak ada jawaban cespleng. Tulisan ini memang tidak dibuat untuk memberi jalan keluar. Sepertinya rule of survival ini efektif. Asumsinya, kita sebenarnya bersikap pragmatis seperti ini. Toh, semua orang butuh bertahan hidup. Bohong jika menjawab sebaliknya. Bayangkan jika semua orang di Nusantara bertindak berdasarkan rule of survival, apa salahnya? Mari kita kembali pada kondisi alamiah atau primitif dari setiap orang!
Mungkin Anda berkomentar, "Apa-apaan ini?" atau "Dasar sinting". "Mangga wae," timpal orang Sunda. Saya hanya mau mengungkap ke permukaan dasar berpikir yang sedang berlaku di Nusantara ini sejak dulu.
Rule of law lebih dianggap beban. Hukum lebih dianggap "kewajiban" yang melelahkan. Kalau bisa rule of law dilanggar saja. Tidak percaya? Tanya setiap anak muda, hitung dengan statistik. Berapa persen yang memandang rule of law itu jaminan kesejahteraan? Rule of law bagi kebanyakan orang Nusantara dipandang sebagai produk hukum dari penguasa. Ia dipandang sebagai paksaan demi kelanggengan kekuasaan si pemerintah. Tak jarang supremasi hukum dalam masyarakat feodal semacam ini berujung pada uang, dalam bentuk upeti.
Oleh sebab itu, tiap hukum berujung pada uang daripada jaminan atas kebebasan dan kehendak umum. Jadi alih-alih kesejahteraan pribadi, rule of law itu cenderung dimengerti sebagai belenggu. Ia jauh dari pengertian kebutuhan internal setiap orang untuk menjamin kebebasan, dan kesejahteraan pribadi.
Lalu, di tingkat masyarakat-akar rumput, rule of survival lebih bersuara. Sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno, para petani hanya berusaha bertahan hidup di tengah pergolakan pergantian penguasa yang identik dengan perang, darah, dan sengsara. Mungkin fenomena ini berlangsung sampai hari ini. Pakaian tidak lagi seperti petani masa Majapahit, kendaraan pasti lebih maju dan modern, alat telekomunikasi pasti mengikuti perkembangan. Tetapi mentalitas, cara berpikir masih memakai versi Majapahit, rule of survival, aturan bagaimana bertahan hidup. Lebih beruntung bila di tangan kanan ada uang, di tangan kiri ada kekuasaan. Jika keduanya direngkuh, betapa nikmatnya survival itu!
Stephanus Djunatan Pengajar di UPT MKU Unpar, Lulusan Filsafat Erasmus Universiteit Rotterdam
Wednesday, April 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment