Wednesday, April 1, 2009

Kapitalisme vs Ekologi

Catatan Kecil Hari Bumi, 22 April 2003
Bumi dalam Pusaran Paradigma Kapitalisme vs Ekologi
Oleh Hening Parlan

Penelitian dari Science Advisory Committee (salah satu lembaga penelitian di
Amerika) yang menyatakan, apa yang tertuang dalam buku Silent Spring karya
Rachel Carson yang menyatakan pestisida dapat menyebabkan kanker telah
menghebohkan dunia. Jutaan manusia tersadar bahwa pengetahuan dan teknologi
yang mereka yakini akan membawa pada kehidupan yang lebih baik dapat
menimbulkan bahaya yang mengerikan.
Meskipun saat itu tidak serta-merta manusia sadar akan adanya bahaya
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap lingkungan, mulai tumbuh
kesadaran bahwa keyakinan mereka akan ilmu sebagai "positivisme" harus
dikritisi. Terlebih ketika Rachel menggambarkan kematian berbagai habitat
karena pestisida, perlahan manusia tersadar bahwa faktor ekologi dan manusia
tidak dapat dipisahkan.
Tahun 1970 ada aksi besar di Fifth Avenue, Amerika Serikat, saat itu
berkumpul tidak kurang dari 20 juta orang dari seluruh dunia, mereka
menuntut agar para pemimpin di seluruh dunia bertindak sesuai dengan gerakan
lingkungan. Mereka memrotes para pemimpin yang sama sekali tidak
memperhatikan faktor lingkungan dalam pembangunan. Sejak saat itu gerakan
lingkungan di seluruh dunia mulai bergulir, termasuk di Indonesia. Seluruh
umat manusia sadar bahwa bumi yang satu harus tetap dipelihara karena ilmu
pengetahuan dan teknologi akan memusnahkan kehidupan dan alam apabila
manusia tidak sadar akan pelestarian alam. Hari itu kemudian menjadi
momentum peringatan hari Bumi di seluruh dunia.
Jauh sebelum peristiwa Fifth Avenue kesadaran akan pelestarian bumi telah
diungkap Maltus. Teorinya tentang pertumbuhan manusia seperti deret ukur dan
sumber daya alam sebagai deret hitung saat ini terbukti. Akibatnya jumlah
manusia yang tidak terkendali akan hidup menderita karena minimnya sumber
daya alam. Padahal saat ini kerusakan alam makin tidak terkendali. Lahirnya
Revolusi Industri Inggris di abad ke-19 adalah salah satu penyebab makin
buruknya kualitas lingkungan. Industri telah menghasilkan udara makin pekat
oleh polusi, ribuan kilometer sungai tercemar limbah, berkurangnya air tanah
karena disedot untuk keperluan industri, hancurnya berbagai habitat tanaman
dan lain sebagainya.
Di Indonesia (sebagian besar) gerakan lingkungan lahir dari kesadaran
kelompok menengah dan para aktivis kampus yang tidak bisa terima dengan pola
pembangunan yang top down dan menimbulkan dampak kemiskinan. Oleh karena itu
mereka kemudian mencari alternatif dalam melaksanakan pembangunan. Mereka
mayoritas bergabung dalam organisasi nonpemerintah (ornop).
Ornop lingkungan juga lahir bersama-sama dengan adanya gerakan masyarakat
lainnya dengan berbagai ragam pilihan ideologi. Dalam konteks Indonesia,
gerakan tersebut juga mewarnai gerakan lingkungan di Indonesia. Kesadaran
lingkungan mulai tumbuh sejak pembangunan menimbulkan dampak pada kerusakan
lingkungan. Hal tersebut makin menguat ketika paham kapitalisme juga merusak
lingkungan. Kesadaran akan bumi yang satu untuk semua orang lahir dari sini.
Mendustai Lingkungan
Pada umumnya orang akan beranggapan bahwa kata pembangunan adalah sesuatu
yang netral dari sebuah proses sosial. Kacamata orang melihat bahwa
pembangunan adalah sebuah usaha untuk meningkatkan kesejahteraan di mana
segala sesuatunya bisa dipergunakan untuk mengubah menjadi lebih baik.
Perubahan tersebut untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya,
teknologi, infrastruktur masyarakat bahkan budaya masyarakat.
Di sisi lain banyak yang menganggap pembangunan adalah sebuah aliran. Di
Indonesia pembangunan sampai saat ini diyakini sebagai ideologi/aliran.
Sebagai ideologi, bukan hanya perubahan fisik yang menjadi target dari
pembangunan, namun pembangunan telah mampu merombak seluruh aspek kehidupan
manusia. Pembangunan adalah sebuah aliran yang mampu memberikan perubahan
yang lebih baik. Namun benarkah pembangunan telah memberikan manfaat untuk
rakyat dan memberikan nilai lebih untuk lingkungan?
Sejak Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati, lingkungan terus-menerus
dijadikan sapi perahan. Parahnya lingkungan diperas bukan untuk
kesejahteraan rakyat, namun dipergunakan untuk membayar utang luar negeri,
untuk meningkatkan pendapatan segelintir orang serta memperkaya
perusahaan-perusahaan multinasional.
Pemerintahan yang ada selama ini begitu percaya bahwa pembangunanisme
(developmentalisme) adalah kekuatan yang mengubah segalanya ternyata tidak
terbukti. Teori yang diadopsi dari barat tersebut selalu menggunakan logika
kapitalisme untuk mengukur segala sesuatunya. Pembangunan juga telah
melegitimasi berbagai kerusakan dan eksploitasi lingkungan. Alih alih demi
pembangunan pemerintah melakukan tindakan yang justru membuat adanya
kemiskinan, eksploitasi, pelanggaran ham, dan lainnya.
Teori pembangunan ini terus-menerus dikritisi melihat fakta dan dampak dari
pembangunan tersebut yang tidak lain mengabdi pada kepentingan kapitalisme.
Dalam Environmental Outlook WALHI 2002 mencatat bahwa ada kecenderungan yang
cukup kuat bahwa rezim yang ada sekarang lebih dari sekadar rezim tanpa
agenda lingkungan, melainkan juga rezim yang mengorbankan lingkungan hidup.
Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa rezim ini bukan hanya telah
mengkhianati amanah dengan menggadaikan lingkungan dan kedaulatan kepada
lembaga-lembaga multinasinal yang berasal dari lembaga-lembaga multilateral,
seperti WTO, IMF, Bank Dunia, ADB serta perusahaan-perusahaan multinasional,
namun juga telah menggadaikan kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik dan
mengutamakan kepentingan elite penguasa di atas kepentingan rakyat. Melihat
semua itu dengan sendirinya teori pembangunan telah runtuh di mata gerakan
lingkungan.
Bersamaan dengan itu gagasan untuk mengembalikan kondisi masyarakat mulai
berkembang. Banyak yang percaya bahwa kehancuran ekonomi dan pembangunan
tersebut dapat dipulihkan melakukan pemupukan modal dan menyerahkan
mekanisme pada pasar. Wacana ini makin meluas dan menjanjikan kehidupan yang
lebih baik dari pada pembangunan dan modernisasi. Inilah yang dinamakan
dengan globalisasi. Namun rupanya hal ini jauh lebih buruk dari pembangunan
karena berlandaskan pada kapitalisme.
Paradigma Ekologi
Membahas paradigma kapitalisme sama halnya dengan membahas seluruh dampak
pembangunan karena yang menjadi dasar dari teori ini adalah pembangunan dan
modernisasi. Sejak Adam Smith dengan Wealth of Nation-nya mempopulerkan
adanya kebebasan individu (personal liberty), pemilikan pribadi (private
property), dan inisiatif individu dalam memupuk modal, maka kapitalisme
mulai resmi berkibar.
Teori tersebut makin diperkuat dengan lahirnya laissez faire, di mana dalam
kebebasan ekonomi peran pemerintah harus diperkecil dan membuka adanya
persaingan bebas. Logika kapitalisme tersebut makin berkembang, terlebih
ketika teori pembangunan mulai ambruk.
Sejak teori klasik berkembang, kelompok kapital mulai memeras otak untuk
mewujudkan cita-cita mereka dalam mumupuk modal. Mereka menggunakan
perangkat-perangkat internasional untuk melicinkan jalan mereka, mereka
menghilangkan batas-batas negara dan mulai menjarah seluruh kehidupan yang
memungkinkan pemupukan uang. Segala sesuatu yang mulanya menjadi milik
publik kemudian diprivatisasi.
Hal inilah yang dinamakan dengan globalisasi. Secara resmi, ini mulai
terlahir sejak ditandatanganinya Perjanjian Umum tentang Perdagangan dan Bea
Masuk atau GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada April 1994.
Perjanjian tersebut berisi kumpulan aturan internasional yang mengatur
hubungan dan perilaku perdagangan antarnegara (pemerintah). Sejak saat
itulah batas-batas negara hilang dan pemerintah siap mengabdi pada
kepentingan kapital.
Mereka yang berada di balik neo-liberalisme pasar adalah IMF, Bank Dunia,
negara-negara maju yang tergabung dalam CGI, WTO dan AFTA. Aturan-aturan
tersebut membentengi perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional
dalam menguasai dan memonopoli akses atas sumber daya alam, pasar,
liberalisasi ekonomi, maupun privatisasi. Lebih dari semua itu, mereka
bahkan ikut campur tangan terhadap berbagai kebijakan dalam negeri sebuah
negara. Sebagai contoh, mayoritas RUU yang tengah dibahas oleh DPR saat ini
seperti RUU Air, RUU Terorisme, RUU BUMN, RUU Genetik, RUU Perkebunan dan
lainnya merupakan agenda titipan dari IMF dan lembaga-lembaga keuangan
internasional.
Parahnya pemerintah tunduk dengan semua itu dan menggadaikan kepentingan
rakyat kepada agen neoliberalisme. Hadirnya liberalisasi ekonomi dan
globalisasi adalah lahirnya kembali penjajahan di muka bumi ini dengan cara
yang jauh lebih canggih, sistematis dan halus namun tidak manusiawi.
Globalisasi sebagai ideologi baru terus berkembang dan tidak memberi ruang
bagi kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan. Sumber daya alam dan
liberalisasi perdagangan, lingkungan semakin tergadai. Hal ini terlihat dari
meningkatnya eksport kayu sehingga menyebabkan kerusakan dalam sektor
kehutanan, naiknya perizinan yang dikeluarkan untuk sektor pertambangan,
bahkan angkanya sudah tidak rasional karena sampai tahun 2001 pemerintah
telah mengeluarkan izin sebanyak 3.246 (Jatam, 2001), rusaknya biota laut,
makin pekatnya udara karena polusi, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh adalah pelaksanaan LoI IMF pada sektor kehutanan yang
mengurangi berbagai restriksi di satu sisi dan meliberalisasi investasi,
telah memacu kecenderungan peningkatan penebangan liar sebesar 16,4 juta
meter kubik pada 1998 dan meningkat menjadi 20,2 juta meter kubik pada tahun
1999 (Tim studi WALHI 2001). Arus liberalisasi ekonomi dan globalisasi
terbukti meningkatkan degradasi lingkungan. Hingga tidak ada kata lain bahwa
liberalisasi ekonomi adalah musuh utama dari gerakan lingkungan.
Paradigma ekologi bukan paradigma yang memisahkan manusia dari
lingkungannya, namun paradigma yang melihat kehidupan manusia dengan alam
sebagai satu kesatuan, di mana ada peningkatan kualitas hidup manusia tanpa
melakukan eksploitasi lingkungan, memproduksi barang tanpa menimbulkan
limbah dan pencemaran, membuat kebijakan yang ekologis, tidak melakukan
eksploitasi terhadap kelompok manapun serta menjaga keberlangsungan
lingkungan.
Pilihan perjuangan untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dan globalisasi
harus diarahkan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dan sumber-sumber
kehidupan. Di sini diperlukan sebuah sinergi antar-berbagai kekuatan dengan
visi yang sama. Hal ini tentunya tidak bisa dicapai dengan tiba-tiba, namun
secara bertahap akan bisa dilaksanakan apabila kita dengan konsisten dan
terencana membangun gerakan ini bersama-sama.
Masyarakat sebagai basis kekuatan harus mempunyai pemahaman yang sama dengan
para aktivis yang selama ini menjadi motor gerakan, sehingga tidak lagi
kelompok menengah yang menjadi aktor, namun para pelaku di masyarakatlah
yang menjadi motor penggerak sehingga tidak hanya mampu melakukan antisipasi
terhadap intervensi global, namun juga mampu membangun gerakan sosial.
Proses advokasi harus berjalan seiring dengan adanya perubahan perilaku.
Oleh karena itu proses edukasi publik harus mengawali hal ini. Kekuatan
untuk menghantam kekuatan liberalisasi ekonomi harus dibangun sejak dini. Di
tengah makin rusaknya lingkungan, potensi kesadaran itu sangat mungkin untuk
tumbuh. Benar, bahwa, sebuah gerakan sosial tidak serta-merta dapat
terbentuk, untuk itulah gerakan lingkungan harus segera berbenah, dan
melakukan penguatan terhadap basis-basis organisasi rakyat sebagai basis
gerakan agar tidak terlindas arus pasar bebas, ini adalah salah satu cara
kita menyelamatkan bumi.
Penulis adalah staf divisi kampanye dan pendidikan publik WALHI.

No comments: