Wednesday, April 1, 2009

Pomodernisme IV

Masyarakat Transparan :
Harapan Dari Postmodernisme

3. Heterotopia Kebenaran

Seni dengan demikian tidak lagi berarti sebagai yang selalu mempertahankan harmoni dan kesempurnaan karyanya. Perubahan esensi seni yang menampakkan Ada dan kebenarannya di era postmodernitas, atau modernitas akhir. Perubahan esensi itu juga merubah apa yang dulunya dianggap sebagai utopia menjadi heterotopia. Utopia bagi Vattimo berarti bahwa seni selalu diarahkan untuk menjadi semacam rehabilitasi, penyempurnaan estetis dari segala macam pengalaman hidup. Untuk itu seni selalu dirancang, didesain supaya bisa tampil sempurna dan mempunyai standarnya sendiri. Perubahannya menjadi heterotopia terlaksana seiring dengan tersingkapkannya bias ideologis Barat sebagai ukuran yang dipakai untuk kesempurnaan seni itu. Kesadaran ini mendistorsikan utopia dan mentransformasikannya menjadi arahan untuk menyingkapkan kemampuan suatu karya dalam membuat dunia maknanya sendiri, komunitasnya sendiri.

Gadamer, yang diikuti Vattimo, mengatakan bahwa keindahan itu adalah keberasalan dalam suatu komunitas subyek yang sama-sama mengalami obyek (dalam pembebasan ornamennya) dan sama-sama menyebutnya sebagai ‘indah’30. Utopia menjadi heterotopia karena pusat keindahan kemudian adalah pembentukan komunitas-komunitas keindahan yang masing-masing mempunyai dunia maknanya sendiri, dunia simbolisasinya sendiri. Pertukaran makna antar komunitas itulah yang kemudian akan ditentukan oleh pasar. 31 Dengan demikian semakin tampak bagaimana esensi baru seni menunjukkan Ada bukan dalam struktur yang statis tetapi sebagai sesuatu yang selalu sedang menjadi.

Heterotopia utopis itu hadir dalam bentuknya yang mengekstremkan secara radikal berbagai implikasi modernisme. Vattimo menyebutnya sebagai heterotopia yang penuh negativitas32. Karena implikasi itu timbul sebagai akibat dari terlalu sempurnanya perasionalisasian dunia modern yang menginginkan tercapainya sebuah totalitas sistem pemikiran metafisis. Begitu sempurnanya proses itu sehingga justru menimbulkan ‘lawan finalitas akal’ (counter finality of reason). Lawan finalitas akal ini menyebabkan kesadaran bahwa emansipasi dan humanisasi yang semula menjadi motivasi kemudian justru menjadi sasaran yang terus-menerus diserang teknologi. Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa jalan keluar dari dilema ini adalah dengan membebaskan diri dari tekanan sistem ekonomi kapitalis masyarakat yang cenderung menggunakan rasio sebagai instrumen kalkulatif33. Senada dengan ini, ‘lawan finalitas akal’ bermaksud untuk bertindak lebih dalam lagi. Bukan hanya bersifat menolak, utopia yang baru ini juga bersifat inventoris atas segala sesuatu yang nostalgis dan ironis dari utopia. Artinya ia membawa serta jejak dari yang lama sembari meneruskannya dalam arah yang baru, yang mau membebaskan manusia dari paham kemajuan sejarah unilinier. Paham sejarah yang sebaiknya dipakai dalam heterotopia ini adalah paham sejarah yang juga menggali kekayaan masa lalu yang ironis itu sambil juga mendistorsinya. Dari paham sejarah macam itu semakin tampak bagaimana modernitas yang melarut dan yang sering disebut postmodernitas itu mempunyai ciri nihilistik.
VI. Masyarakat Transparan: Sebuah Harapan

Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa ciri nihilistik postmodernisme terletak pada semakin ditekankannya usaha untuk mencapai intertekstualitas makna dari tiap individu. Ketika sistem rasional diragukan kemutlakannya dalam modernitas akhir, individu tidak lagi dapat memaksakan suatu tindakan atas dasar alasan yang logis dan meyakinkan. Yang terjadi kemudian dalam disilusi modernitas adalah transformasi hubungan antara teori dan praksis. Tidak diyakini lagi perlunya teori sebagai dasar kokoh untuk praksis.34 Ketika jaminan metafisis dihapus yang tinggal adalah individu-individu yang berkemampuan untuk menghasilkan simbol-simbol non ideologis. Itulah yang mau diteruskan sebagai implikasi positif modernitas. Berikutnya...
Ke

No comments: