MENGGAGAS SEMIOTIKA AL QURAN
TIDAKLAH berlebihan jika dikatakan, kita berhadapan dengan tanda di mana saja. Tetapi, meski tanda ada di mana-mana -atau justru karena itu- seringkali kita tidak lagi menyadarinya sebagai tanda. Dengan demikian, tidak menyadari jaringan signifikan tempat tanda-tanda itu bekerja.
Sebetulnya telah ada ilmu yang menyuntuki kajian tentang tanda ini. Namun, ia belum populer di luar lingkaran akademis tempatnya berawal, termasuk di Indonesia. Ilmu ini disebut semiotika, suatu kata yang celakanya tampak seram karena ia melakukan penggalian sampai ke dalam signifikansi politis dan sosial suatu tanda; tidak terbatas pada penyelidikan signifikan linguistik tanda-tanda sebagaimana digeluti semantik.
Ambil contoh, sepatu bertumit tinggi. Bagi perempuan yang memakainya, mungkin ia sekadar benda pakaian biasa. Tetapi, bagi seorang semitoikus berwawasan feminis, sepatu itu menandai hasrat budaya yang didominasi laki-laki guna melumpuhkan perempuan secara fisik, agar membuat mereka berjalan menjinjit-jinjit sehingga tidak bisa lari (dari cengkeraman laki-laki).
Suatu interpretasi yang tidak terlalu ekstrem, adalah tumit yang tinggi cenderung membuat seorang perempuan tampak seolah ia sedang berusaha menarik perhatian seksual. Kenyataan ini, betapa pun juga, menunjuk pada mitos jender umum yang menegaskan perempuan sebagai objek seksual dan menuntutnya tampil menarik secara seksual.
Salah satu manfaat penting semiotika agar kita tidak tertipu. Karena, dalam semiotika, makna suatu tanda tidak ditemukan dalam objek ("penanda"/signifie) yang tampak dirujuknya, tetapi dalam konsep ("petanda"/signifiant) yang bekerja di dalam suatu sistem yang terbentuk secara budayawi.
***
TANDA mencakup segala hal, mulai dari bahasa, gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, boneka, menu makanan, musik, lukisan, film, sabun, bahkan dunia itu sendiri. Pokoknya, segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain dapat disebut sebagai tanda.
Bagaimana dengan teks Al Quran? Bukankah ia merupakan wahyu Tuhan? Benar, tetapi kenyataan menunjukkan, wahyu Tuhan itu telah memasuki wilayah historis, yaitu bahwa Tuhan telah memilih bahasa manusia -dalam hal ini bahasa Arab- sebagai kode komunikasi antara Tuhan dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad S.A.W. Lain dari itu, kata-kata Tuhan itu direkam dalam sebuah catatan atau teks yang dibakukan pada abad ke-4 H/abad ke-10 M.
Dalam kaitan ini, tepatlah definisi Al Quran yang dibuat pemikir Islam kontemporer kelahiran Aljazair, Mohammed Arkoun. Menurutnya, Al Quran merupakan kitab wahyu yang berisi sejumlah pemaknaan atau penandaan potensial yang diusulkan Tuhan kepada segenap manusia. Ayat-ayat Al Quran, lanjut Arkoun, ada yang berfungsi menjadi lambang (simbol), tanda (sign), dan sinyal (signal). Bahkan kata ayat sendiri secara harafiah bermakna "tanda-tanda". Karena itu, pengetahuan tentang kode mutlak (qua non) diperlukan dalam membaca teks Al Quran, sehingga optimalisasi bagi setiap kemungkinan terjadinya produksi makna menjadi terbuka luas.
Pendekatan semiotika atas Al Quran menjelaskan, Al Quran berfungsi dan dipahami dengan cara tertentu karena merupakan sehimpunan tanda yang saling merujuk dan saling memaknakan, yaitu memberi makna. Dalam lanskap itu, minimal ada enam prinsip semiotika yang perlu mendapat fokus perhatian dalam membaca Al Quran. Berikutnya...
Kembali ke atas
Monday, March 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment