Agama dan Visi Emansipatoris
Does religion promote-or subvert-civil society? Demikianlah Timothy A. Brown memulai tulisannya dalam Jurnal Features. Guru besar ilmu agama di Universitas Pace, New York ini mengajukan pertanyaan yang patut diapresiasi lebih jauh guna membangkitkan kembali studi keagamaan yang sedang mengalami kebuntuan dan kemandulan.
Pertanyaan tersebut membuka kembali ruang dialog yang selama ini telah dianggap tuntas. Setidaknya memunculkan kembali kegelisahan dan refleksi kritis terhadap keberagamaan kita. Beragama secara ritual barangkali bisa dianggap selesai, setiap pemeluk agama sudah menerapkannya secara sempurna. Animo masyarakat untuk mendirikan tempat-tempat peribadatan semakin besar seiring dengan meningkatnya animo masyarakat untuk mengunjungi tempat-tempat suci di dataran Mediterania. Pada titik ini, keberagamaan bisa dikatakan berhasil.
Namun beragama dalam arti bagian dari realitas kemanusiaan masih menyisakan sejuta problematika yang mesti dijawab secara serius. Ini dibuktikan dengan realitas empirik yang memilukan: kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan jender, kezaliman politik dan imperialisme budaya. Di manakah agama di tengah problem ini semua?
Agama berada di sebuah lembah, sedangkan problem kemanusiaan di lembah yang lain. Agama tak mampu memberikan jalan keluar bagi kemelut dan krisis, sehingga agama kehilangan fungsinya. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada pembelaan kepada agama tanpa reserve. Akibatnya, agama menjadi dogma-dogma eksklusif.
Karena itu, pekerjaan berat yang mesti dilakukan masyarakat beragama di era multikrisis adalah meninjau kembali doktrin-doktrin keagamaan secara kritis agar agama tidak lagi dipandang sebagai dokumen teologis belaka, melainkan dipahami sebagai doktrin yang senantiasa progresif dan ofensif bagi penyelesaian problem kemanusiaan, sehingga dengan demikian, agama tidak kehilangan konteks, momentum dan aktualitasnya.
Beragama = Tafsir
Pada tataran normatif, agama-agama semitik diturunkan dalam bentuk teks-teks suci. Beragama sangat terkait sejauh mana setiap pemeluk mengimani teks-teks tersebut dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketergantungan setiap agamawan kepada teks begitu besar, sehingga muncul persepsi bahwa agama adalah teks yang disimbolisasikan melalui kitab suci. Bahkan dalam tataran empirik, perdebatan yang sampai detik ini belum selesai yaitu perdebatan menyangkut orisinalitas teks.
Nashr Hamid Abu Zayd, pemikir Muslim asal Mesir, menjelaskan secara gamblang pandangan agama sebagai teks. Menurutnya, dalam sejarah peradaban manusia terdapat tiga peradaban adiluhung: Pertama, peradaban akal yang berkembang pesat di Yunani. Peradaban ini mempunyai peranan besar bagi pencerahan dunia dan lahirnya pemikiran filosofis. Kedua, peradaban pasca-kematian yang diprakarsai Mesir kuno. Peradaban ini telah membawa Mesir dalam puncak kejayaannya dengan membangun piramida sebagai simbol ketinggian peradaban pasca-kematian. Ketiga, peradaban teks. Peradaban ini tumbuh subur di dataran Arab, yang mana menjadikan teks sebagai sentral utama. Agama-agama yang turun di kawasan tersebut mempunyai perhatian khusus terhadap teks.
Akar-akar historis tekstualisme dan literalisme sepenuhnya bisa dilacak dari sejarah peradaban manusia di masa lalu, yang mana pengaruhnya terus berkembang hingga saat ini. Dan hampir dipastikan, sulit rasanya untuk membabat habis tradisi tersebut. Teks akan senantiasa ada, dan bahkan pada titik tertentu disakralkan. Beragama tanpa teks, seperti halnya melepaskan pakaian dari badan, hampir mustahil dilakukan. Karena dalam kenyataannya, beragama akan selalu diidentikkan dengan teks-teks suci. Di sini lalu dapat dipahami, bahwa beragama pada dasarnya adalah upaya menafsirkan teks-teks suci.
Dalam tradisi Islam, tafsir merupakan khazanah yang kaya-raya. Bisa dibayangkan, sedari dulu hingga saat ini ada ratusan, bahkan ribuan buku tafsir dari pelbagai mazhab, aliran dan sekte. Buku-buku tersebut masih senantiasa diwarisi bagi setiap pemeluk agama. Tafsir al-Thabari, al-Suyuthi, Ibnu Katsir, al-Alusi dan al-Razi, yang ditulis beberapa abad silam masih menjadi bacaan utama. Kehausan terhadap tafsir sama halnya dengan kehausan terhadap teks suci. Bah-kan setiap komunitas mempunyai tafsir tersendiri, yang dijadikan pedoman dalam memahami doktrin keagamaan.
Karena beragama adalah tafsir, tidak ada jalan lain kecuali merujuk pada kitab-kitab tafsir. Ini bukan tanpa risiko. Yang mengemuka tidak hanya sakralisasi teks, akan tetapi di sisi lain juga menyebabkan tumbuhnya sakralisasi tafsir. Selama berabad-abad masyarakat beragama kehilangan daya kritisnya terhadap produk-produk tafsir, sehingga berakibat pada mandulnya kreativitas nalar keberagamaan. Kalaupun terdapat tafsir baru, sebenarnya hanya sebatas pengulangan dari tafsir klasik.
Secara umum, model penafsiran klasik bisa diklasifikasikan dalam dua hal: Pertama, tafsir tekstualis. Tafsir ini menjadikan teks segala-galanya. Apa yang disampaikan teks adalah titah Tuhan yang harus dilaksanakan. Bagi kalangan ini, ada keyakinan teologis, bahwa kehendak dan kekuasaan Tuhan sudah disampaikan secara komprehensif dalam teks, sehingga konsekuensinya, pemahaman keagamaan dan keduniaan harus merujuk sepenuhnya kepada teks.
Kedua, tafsir ideologis. Biasanya, tafsir model ini dikodifikasi sesuai dengan ideologi yang menjadi pilihan kekuasaan. Kalangan Sunni akan menafsirkan teks suci sesuai dengan ideologinya, begitu pula kalangan Syiah mempunyai tafsir tersendiri sesuai dengan kepentingannya. Tafsir model ini juga digunakan sebagai bahan indoktrinisasi bagi pengukuhan kekuasaan. Fragmentasi sekte dan aliran juga disertai dengan fragmentasi tafsir.
Kendatipun demikian, watak utama dari kedua model tafsir tersebut sebenarnya bermuara pada satu hal: teosentrisme, yaitu pengunggulan ''nilai-nilai langit''. Seakan-akan teks-teks suci masih berada di singgasana Tuhan (lauh al-mahfudz) yang tak tersentuh oleh makhluk-Nya. Pada tataran ini, teks kemudian menjadi ajang kontestasi dan perebutan kekuasaan.
Visi Emansipatoris
Manakala melihat perkembangan pemikiran keagamaan di atas, sejatinya diupayakan langkah progresif guna melahirkan tafsir keagamaan yang dapat menjawab kebutuhan kontekstual, terutama menyangkut pembebasan masyarakat dari ketertindasan dan pencerahan dari dogmatisme.
Tafsir atas teks-teks suci sejatinya tidak hanya dalam bingkai pembenaran terhadap teks atau pembelaan pada Tuhan semata, melainkan harus menyentuh persoalan-persoalan riil dalam masyarakat, seperti pembebasan dari kemiskinan, pendidikan, pembusukan politik dan segala bentuk penindasan.
Karenanya, tafsir emansipatoris hendak mengubah strategi top-down ala tafsir teosentris menjadi bottom up, yang mana tafsir tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan. Dalam tafsir emansipatoris, analisa sosial merupakan alat bantu guna memahami problem-problem sentral kemanusiaan. Ini disadari, karena agama dalam tataran sosiologis-antropologis merupakan proses akulturasi dengan budaya. Di satu sisi agama membentuk budaya, tapi di sisi lain budaya juga membentuk agama.
Ini juga sejalan dengan konsepsi pembacaan terhadap teks, bahwa teks dipahami melalui kekhususan sebab-musababnya bukan melalui keumuman lafadz-nya (al- 'ibrah bi khushus al-sabab la bi 'umum al-lafdz) (Nashr Hamid: 1996).
Dalam tradisi kristiani, kita mengenal kampiun teologi pembebasan, seperti Gustavo Gutierrez, Jon Sobrino, Clodovis Boff dan lain-lain. Mereka juga telah berjasa besar dalam memahami tanda-tanda zaman dan memikirkannya secara kritis dalam cahaya sabda Tuhan (Basis: 2002)
Dengan demikian, setiap agama mempunyai potensi untuk memahami doktrin secara emansipatoris, yaitu dalam kapasitas agama sebagai doktrin yang berada dalam sejarah dan menyejarah. Dialog antaragama sejatinya juga dapat membawa misi pembebasan tidak hanya dalam tataran spiritual-rohani, akan tetapi dalam material-insani.
Monday, March 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment