MEMAHAMI METODE HERMENEUTIK DALAM
STUDI ARSITEKTUR dan KOTA
Moh. Ali Topan*)
Abstrak
Architecture as a human creation must be understood in the social, cultural and historical context. How is its relevance for today and the future, one must understand and interpret the meaning of architecture for the community. Hermeneutic methodology can help us understand correctly, but it must be carefully applied because it tends to be of subjectively biased and has questionable validity.
Pengantar
Perkembangan paradigma penelitian menurut Guba (1991) dalam The Paradigm Dialog telah memunculkan tiga alternatif baru sebagai pengganti dari paradigma lama positivis, yaitu paradigma pasca-positivis (postposi-tivism), teori kritik (critical theory) dan konstruktivis (constructivism). Apa yang menarik dari wacana para-
digma penelitian ini adalah terjadinya perubahan yang mendasar terhadap cara pandang (ontologi), epistemologi serta metodologi yang digunakan oleh ketiga paradigma tersebut.
Kajian ini diharapkan mampu men-jawab pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana metode ini digunakan ser-ta keabsahan penggunaan metode tersebut dalam studi arsitektur/kota.
Arsitektur atau kota pada dasarnya adalah merupakan produk budaya dari masyarkat dan oleh sebab itu setiap studi tentang arsitektur atau kota sebenarnya terkait erat dengan upaya-upaya pemahaman terhadap makna obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur atau kota tersebut terhadap masyarakatnya.
Pada dasarnya untuk memahami makna arsitektur atau kota tersebut, diperlukan kegiatan interpretasi yang dapat memberikan dan memperkaya jawaban sebenarnya tentang hal tersebut.
Kegunaan metode hermeneutik atau interpretasi dalam studi ini adalah untuk memahami obyek dalam kon-teks ruang dan waktu dimana obyek tersebut berada, terkait didalamnya keseluruhan aspek kondisi sosial, ekonomi, budaya, pandangan hidup maupun sejarahnya.
Metode interpretasi ini diperlukan ba-gi studi tentang arsitektur maupun kota yang diciptakan dalam konteks lokal pada masa yang lalu, agar arsi-tektur atau kota asli tersebut mem-punyai makna dan relevansi bagi perkembangan identitas arsitektur dan kota pada masa kini dan menda-tang serta bagi perkembangan masya-rakatnya. Jadi ada semacam kesinam-bungan memori didalam perubahan yang terjadi.
Konflik Paradigma Merupakan Masalah Interpretasi
Sejauh ini pengertian ilmu meliputi berbagai macam pemahaman dan mengikuti beberapa aliran pemikiran (filsafat) yang berkembang sepanjang sejarah, seperti rasionalisme, empi-risme, fenomenologi, eksistensialis-me maupun yang lebih kontemporer seperti dekonstruksi dan sebagainya. Sesungguhnya kondisi ini hanyalah merupakan perbedaan interpretasi terhadap realitas atau fenomena-feno-mena yang terjadi. Kuhn (1993) me-nyatakan bahwa sebenarnya rasional-isme itu lebih merupakan interpretasi dan persuasi dari kenyataan obyektif, atau dalam pernyataan lainnya Kuhn mengatakan bahwa segala yang dika-takan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataannya sebetulnya erat terkait pada paradigma atau model ataupun skema interpretasi tertentu yang di-gunakan oleh ilmuwannya. Bila aliran rasionalisme menitik beratkan ilmu pada kekuatan penalaran akal budi atau rasio dalam pencarian kebenaran atas kenyataan. Descartes, berpen-dapat bahwa melalui akal budilah manusia dapat mengerti tentang du-nianya serta dapat mengatur hidup-nya.
Sementara itu melalui pengaruh F. Bacon (Bertens, 1996; Poedjawijatna, 1992) penganut aliran empirisme yang tumbuh lebih belakangan ber-pendapat bahwa suatu teori tidak hanya dibenarkan sejauh ia dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui observasi (penga-laman inderawi).
Kemunculan Kant dengan kritiknya terhadap aliran rasionalisme dan empirisme serta pemikirannya ten-tang ilmu yang seharusnya meru-pakan proses sintesis a priori, yaitu perlunya menggabungkan proses pencarian pengetahuan melalui pena-laran akal budi (rasio) dan penga-laman inderawi (empiri), telah me-nimbulkan kegoyahan kepercayaan terhadap aliran rasionalisme dan alir-an empirisme serta menimbulkan konflik, yang berlangsung terus hing-ga sampai saat ini. Dalam pada itu aliran fenomenologi muncul dengan keyakinannya untuk kembali ke benda-bendanya sendiri dalam meng-ungkap pengetahuan (Husserl dalam Sugiharto, 1996) serta menolak pemi-sahan subyek-obyek dalam mencari hakikat suatu obyek atau fenomena, sebagaimana dilakukan oleh aliran rasionalisme maupun empirisme. Pe-nganut aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan atau ilmu itu pada ke-nyataannya adalah merupakan kehi-dupan langsung yang belum dire-fleksikan (Husserl dalam Sumaryono, 1993),
sehingga segala bentuk konstruk ilmiah hanyalah merupakan ideali-sasi, abstraksi dan penafsiran tentang kehidupan dunia ini.
Dengan demikian dasar-dasar konflik yang terjadi antar paradigma tersebut adalah bertitik tolak pada perbedaan interpretasi tentang kenyataan atau fenomena-fenomena, lebih-lebih un-tuk ilmu-ilmu kemanusiaan (Dilthey dalam Sumaryono, 1993), atau oleh Kurokawa (1991) disebut sebagai In-terpretasi Copenhagen.
Filsafat Hermeneutik
Pada masa ini semakin banyak filsuf (Dilthey, Heidegger, Gadamer, Ricour dan sebagainya) yang beralih kearah filsafat hermeneutik, yaitu upaya menafsirkan teks Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani her-meneuein, yang berarti menafsirkan. Sebagai kata benda hermeneia dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Sebenarnya kata ini, menurut spekulasi historis, merujuk pada nama dewa dalam mitologi Yunani yaitu Dewa Hermes yang bertugas untuk menyampaikan pe-san-pesan Dewa Tertinggi di langit (gunung Olympia) kepada manusia di bumi melalui bahasa yang di-mengerti oleh manusia. Dengan tugas tersebut maka dewa hermes harus mampu untuk menginterpretasikan a-tau menyadur pesan-pesan tersebut kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya, sehingga pesan-pesan tersebut dapat dipahami maknanya. Oleh sebab itu secara umum hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti (Palmer dalam Sumaryono, 1993). Pada awalnya hermeneutik diposi-sikan sebagai bagian dari ilmu filologi, dan baru pada abad 16 memperoleh perhatian akademis se-telah para ilmuwan gereja meng-gunakannya sebagai metode pema-haman dan interpretasi Kitab Suci Bi-bel. Sejak saat itu posisi hermeneutik mulai berkembang menjadi metode kritik historiografi. Pada abad 18, ketika masyarakat Eropa sedang bangkit penghargaan dan apresiasi terhadap seni klasik, maka peran hermeneutik menjadi semakin pen-ting dan dibutuhkan. Karena yang menjadi obyek kajian adalah pema-haman tentang makna dan pesan yang terkandung dalam karya seni klasik yang merupakan karya cipta masa lalu, maka faktor pencipta, proses penciptaan dan karya cipta menjadi sangat penting untuk dike-tahui. Ketiga faktor ini membentuk suatu segitiga yang tidak bisa dipi-sahkan jika ingin memahami makna suatu suatu karya cipta. Dalam kondisi ini hermeneutik memerankan dirinya sebagai sebuah metode yang menafsirkan atau menginterpretasi-kan realitas lain yang tidak hadir, baik karena telah berlalu dalam ruang maupun waktu yang cukup jauh ja-raknya, sementara realitas tersebut hadir pada kita saat ini melalui atau diwakili oleh teks atau tanda-tanda lainnya.
Pada dasarnya hermeneutik berhu-bungan erat dengan bahasa. Yang dimaksud bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi atau perantara dalam menyampaikan suatu maksud, namun juga meru-pakan proses berfikir, berbicara, menulis maupun berkarya, baik yang diwujudkan dalam bentuk teks mau-pun tanda-tanda lainnya. Disini baha-sa menjadi way-of-being-nya manu-sia. Jadi bila pengalaman manusia yang diungkapkan melalui bahasa tersebut tampak asing bagi pembaca pada generasi berikutnya, maka disini peran hermeneutik untuk menafsirkan/menginterpretasikan se-cara benar teks atau tanda-tanda tersebut menjadi sangat penting.
Salah satu contoh yang sangat jelas adalah pesan-pesan yang terdapat da-lam kitab suci, yang dipercaya me-rupakan perwujudan literal dari fir-man Tuhan pada masa yang lalu, akan sangat membutuhkan penaf-siran atau penginterpretasian bila ingin dipelajari atau dipahami makna hakiki pesan-pesan tersebut pada masa kini.
Metode Hermeneutik
Menurut telaah singkat diatas, maka yang dimaksud metode hermeneutik adalah cara-cara untuk menfsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-bentuk lainnya. Pada awalnya metode hermeneutik digunakan untuk menafsirkan kitab suci saja, namun semenjak Dilthey (1833-1911) metode ini mulai diper-gunakan untuk ilmu-ilmu kema-nusiaan seperti bidang sejarah, psiko-logi, hukum, sastra, seni dan seba-gainya. Menurut Dilthey, dalam bi-dang ilmu-ilmu tersebut metode pe-nafsiran sangat membantu untuk memahami makna dari hal-hal yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, karena sepanjang kegiatan manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat metaforik atau simbolik yang sering-kali merupakan perwujudan sesuatu yang lain atau sesuatu diluar dari yang diwujudkan. Meminjam dari istilah semiotik atau semiologi ada yang disebut penanda (signifier) dan yang ditandai (signified). Geertz (1992) juga sependapat bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengan-dalkan logika positivisme tetapi juga
harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta berbagai komponen yang turut mem-bentuk jaringan makna dimana aktor tersebut merupakan bagian tak ter-pisahkan dari komunitasnya.
Menurut Schleiermacher, proses pe-mahaman menurut metode herme-neutik menuntut agar pembaca atau penafsir berusaha untuk "reliving and rethinking the thought and feeling of the author", agar pembaca atau pe-nafsir atau penginterpretasi dapat menempatkan diri pada posisi kehi-dupan, pemikiran dan perasaan dari sang penciptanya sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh terhadap obyek yang dikajinya. Pendapat Schleiermacher ini men-dorong tumbuhnya teori fenome-nologi hermeneutik. Hal ini sepen-dapat dengan Gadamer yang menga-takan bahwa untuk memahami se-buah obyek sosial yang menyangkut makna hidup tidak bisa tanpa adanya atau melalui partisipasi dan dialog dengan tradisi yang hidup ditengah masyarakat tempat obyek sosial itu berada. Lebih lanjut Gadamer menya-takan bahwa untuk dapat melakukan dialog yang produktif, hanya bisa terjadi bila antara subyek dan obyek melebur dan menjadi tidak terpisah-kan (the fusion of horizons), artinya memahami dunia manusia hanya bisa diperoleh secara benar dan otentik ke-tika yang bersangkutan menga-lami sendiri serta lebur didalam peristiwa kehidupan tersebut.
Menurut Komaruddin (1996) dan Soemaryono (1993), metode herme-neutik mengunakan pendekatan secara abduksi, yaitu proses mendekati data (dalam hal ini teks atau tanda-tanda lain) melalui berbagai asumsi dan kemungkinan sehingga muncul sekian wajah ke-benaran. Proses ini sering disebut sebagai proses hermeneutical circle, yaitu proses dinamis dalam menaf-sirkan teks atau tanda-tanda berda-sarkan asumsi-asumsi, pengalaman serta terjadinya saling menafsirkan antara sesama teks atas teks yang kemudian melahirkan jaringan dan lingkaran interteks. Dalam proses ini peran prakonsepsi dan pradisposisi penafsir dalam memahami teks atau tanda-tanda mempunyai andil yang besar dalam membangun makna. Sebuah teks atau tanda menawarkan kepada pembaca/penafsirnya berba-gai kemungkinan penafsiran berda-sarkan sudut pan-dang serta teori yang dipilih oleh penafsirnya. Namun demikian hal ini bukan berarti bahwa hermeneutik terjebak dalam relativisme , tetapi justru hendak mencari pemahaman yang benar dan utuh atas makna sebuah teks atau tanda. Memahami disini sama halnya dengan melakukan interogasi-dialog terhadap sesuatu yang asing, yang sama sekali belum dikenal. Oleh sebab itu dalam setiap proses penafsiran perlu dikem-bangkan sikap curiga (Geertz, 1993; Komaruddin, 1996) baik kedalam diri penafsirnya sendiri maupun kepada pencipta teks atau tanda-tanda terse-but, agar tidak tertipu oleh sistem tanda yang ada dipermukaan sehing-ga dapat mengaburkan makna yang lebih dalam.
Sebenarnya, menurut pendapat Ko-maruddin (1996), terdapat dua aliran dalam hermeneutik yaitu:
1. Hermeneutik Transendental yang berpandangan bahwa untuk me-nemukan kebenaran dalam teks atau tanda-tanda tidak harus mengaitkan dengan sang penga-rang atau penciptanya karena se-buah kebenaran dapat berdiri sendiri (otonom) ketika tampil dalam teks atau tanda-tanda ter-sebut;
2. Hermeneutik Historis-Psikologis yang berpendapat bahwa teks atau tanda-tanda hanya merupa-kan eksposisi eksternal dan tem-porer saja dari sang penga-rangnya, sementara kebenaran ti-dak mungkin terwadahi secara utuh atau representatif dalam teks atau tanda-tanda yang ada tersebut.
Menurut Amina (penulis dari Malay-sia yang melakukan penelitian ten-tang penerapan metode hermeneutik dalam penafsiran atau penginter-pretasian ayat-ayat Al Quran, khusus-nya berkenaan dengan masalah wa-nita), terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam penafsiran yaitu:
1. Dalam konteks apa teks/ayat-/tanda atau yang dapat dikate-gorikan dengan teks, ditulis atau diciptakan;
2. Bagaimana komposisi bentuk dan struktur teks;
3. Bagaimana keseluruhan teks ter-sebut dan kondisi pandangan hi-dup yang berkembang saat itu.
Relevansi Terhadap Studi Arsitek-tur/Kota Filsafat Hermeneutik sangat relevan karena menawarkan suatu perspektif baru mengenai cara me-mahami makna arsitektur atau kota seperti :
1. Mengakui adanya pengaruh fak-tor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik didalam pencipta-an arsitektur/kota
2. Memberi peluang pemahaman terhadap karya-karya arsitektur kota, khususnya terhadap karya-karya tradisional, dengan demi-kian memperkaya pemahaman a-tas makna arsitektur atau kota dalam hubungan dengan masya-rakat penghuninya.
3. Menciptakan dan mendorong ter-bentuknya arsitektur dan kota yang bermakna (meaningful life), yang terkait dengan warisan bu-daya masyarakat.
4. Memberi peluang arsitektur/kota tidak bermakna tunggal, sehingga keunikan local tetap dapat tergali.
5. Meningkatkan kesadaran atau sensitifitas akan perbedaan-per-bedaan dalam karya arsitektur dan kota
6. Mengakui keberadaan arsitektur atau kota tradisional dengan un-sur-unsur metaforis, simbolik maupun unsur mistiknya
Validitas
Salah satu problem dalam penelitian kualitatif (metode hermeneutik digo-longkan dalam pendekatan ini) yang sampai sekarang masih sering men-jadi perdebatan, khususnya bila diha-dapkan dengan ilmu-ilmu alam, ada-lah tentang validitas. Untuk menang-gapi masalah tersebut, maka dikem-bangkan suatu sikap curiga (Geertz, 1992; Komaruddin, 1996) terhadap setiap data, khususnya yang berasal dari variabel aktor pencipta, ter-masuk sikap curiga terhadap diri pe-neliti sendiri, sekaligus untuk me-ngurangi subyektifas penelitian. Menurut Geertz (1992) dan Koma-ruddin (1996), sikap curiga tersebut didasarkan atas pendapat tiga orang filsuf yang mengingatkan bahwa su-byektifitas dapat terjadi karena adanya pengaruh faktor libido (Sig-mund Freud), pengaruh faktor kuasa (Friedrich Nietzsche) ataupun penga-ruh dari faktor ekonomi (Karl Marx) yang akan dapat mengaburkan mak-na terdalam dari obyek studi. Di-samping mengembangkan sikap ter-sebut, juga dikembangkan prakon-sepsi dan pradisposisi guna mem-bantu memandu dalam membangun dan memahami makna dari obyek yang sedang diteliti.
Daftar Bacaan
1. Bertens,K., Filsafat Barat Abad XX, Jilid 2: Prancis, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakar-ta, 1996.
2. Geertz, Clifford, Tafsir Kebuda-yaan, Penerbit Kanisius, Yogya-karta, 1992.
3. Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
4. Hidayat, Komaruddin, Memaha-mi Bahasa Agama, Sebuah Ka-jian Hermeneutik, Penerbit Para-madina, Jakarta, 1996.
5. Kurokawa, Kisho, Intercultural Architecture, The Philosophy of Symbiosis, Academy Edition, Great Britain, 1991.
6. Kuhn, Thomas S., Peran Paradig-ma dalam Revolusi Sains, terje-mahan, Penerbit PT. Remaja Ros-dakarya, Bandung, 1993.
7. Newton, KM., Menafsirkan Teks, Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra, terjemahan, Harvester, Wheat-sheaf, London, 1990.
8. Poedjawijatna, Prof., Pembim-bing Kearah Alam Filsafat, Pe-nerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
9. Sudjiman, Panuti, dan Zoest, Aart Van, penyunting, Serba-Serbi Se-miotika, Penerbit Gramedia Pus-taka Utama, Jakarta, 1992.
10. Sugiharto, I. Bambang, Post-Mo-dernisme, Tantangan bagi Filsa-fat, Penerbit Kanisius, Yogyakar-ta, 1996.
11. Sumaryono, E., Hermeneutik, Se-buah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Monday, March 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment