Paradigma 'Memahami' Fundamentalisme
Mun'im A Sirry, Peneliti Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta
HINGGA kini tampaknya tidak ada masalah yang lebih banyak dibicarakan orang dalam politik internasional ketimbang fundamentalisme Islam. Di Barat, tidak ada gejala politik yang lebih menakutkan daripada bangkitnya 'fundamentalisme Islam' itu. Terutama sejak tragedi serangan teroris 11 September 2001--dan ledakan bom di Kuta, Bali, pada satu tahun satu bulan dan satu hari berikutnya--perbincangan tentang fundamentalisme atau radikalisme Islam banyak menjadi headline media cetak dan elektronik, topik seminar, talk show, dan seterusnya.
Dalam konteks Indonesia, seorang indonesianis menggambarkan menyeruaknya fundamentalisme Islam itu sebagai the most troubling develompment in the new Indonesia. Barangkali, tidak semua orang sepakat tentang seberapa besar ancaman kelompok ini terhadap masa depan Indonesia. Tetapi, sulit dibantah bahwa kehadiran kelompok yang kerap menggunakan kekerasan dalam memajukan cita-cita politiknya ini selalu menjadi batu sandungan sepanjang sejarah perkembangan Indonesia. Tak terkecuali dalam fase penataan kembali di era reformasi sekarang ini.
Setidaknya, ada tiga pendekatan yang digunakan para sarjana dalam memotret kebangkitan kembali fundamentalisme Islam. Pertama, eksepsionalisme. Paradigma ini memosisikan fundamentalisme Islam sebagai pengecualian (exceptionalism). Para sarjana yang menganut paradigma ini percaya bahwa teori-teori ilmu sosial Barat tidak bisa diterapkan (inapplicable) terhadap kajian fundamentalisme Islam, karena fenomena ini sangat khas dunia Islam. Myron Weiner, salah seorang pendukung paradigma ini, menyebutkan bahwa Islam has come to play quite a different role from that of the religions of modernization--Christianity, Judaism, Confucianism, Shintoism, even Buddhism and Hinduism (1978: 60).
Seperti diduga, para sarjana yang tergolong ke dalam paradigma ini memiliki pandangan negatif tentang gerakan-gerakan Islam. Mereka selalu menggunakan konotasi pejorative untuk menyudutkan Islam, misalnya dengan menuding fundamentalisme Islam sebagai musuh utama Barat setelah ambruknya komunisme. Daniel Pipes, seorang pengkritik Islam nomor wahid dan figur paling berpengaruh dari kelompok ini, memandang bahwa fundamentalisme Islam harus dihadapi dengan kekuatan. Katanya, Communists and fundamentalists being invariably hostile to us, we should show not empathy but resolve, not goodwill but will power (1995: 195). Samuel Huntington juga memprediksikan terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat (1996).
***
Kedua, komparatif fundamentalisme. Paradigma ini memandang fundamentalisme Islam sebagai bagian dari fenomena global. Karena itu, fundamentalisme bukanlah khas Islam. Kita juga dapat saksikan bangkitnya fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India, dan kebangkitan kelompok-kelompok militan serta sayap kanan seperti Prancis, Jerman, Kanada, dan Amerika Serikat. Mereka yang menganut paradigma kedua ini cenderung membanding-bandingkan berbagai kelompok keagamaan.
Kajian komparatif mengenai fundamentalisme dilakukan oleh banyak lembaga. Salah satunya yang paling terkenal ialah Fundamentalism Project yang dilaksanakan di bawah bimbingan American Academy of Arts and Sciences dan didanai oleh Yayasan John D dan Catherine T Mac Arthur. Karya-karya yang dihasilkan oleh proyek ini akan mendorong perbincangan seputar fundamentalisme tidak lagi beraroma politik, melainkan menyentuh isu-isu metodologis dan paradigmatik.
Ketiga, analisis normatif, yang memandang fundamentalisme tidak bersumber dari agama. Fundamentalisme Islam, misalnya, diyakini oleh para pendukung paradigma ketiga ini tidak relevan dengan Islam tradisional. Mereka ingin menyebutkan bahwa Islam tidak ada hubungan dengan aksi-aksi teror yang kerap dilakukan kaum fundamentalis. Bahkan, bisa dipastikan, Islam telah dibajak (hijack) oleh kalangan teroris.
Karena itu, motif di balik aksi-aksi teror tersebut bukanlah agama, melainkan politik atau, lebih khusus lagi, pertarungan untuk merebut kekuasaan. Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa gejala yang secara salah kaprah disebut 'fundamentalisme Islam' itu lebih tepat dilihat permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik masyarakat atau negara yang bersangkutan. Jadi, gejala itu bukanlah masalah keagamaan murni (meskipun dengan mengibarkan bendera agama), melainkan masalah sosiologis-politis saja (1994: 271).
Sungguhpun demikian, ketiga paradigma di atas bersepakat bahwa fundamentalisme bukanlah masa depan Islam di mana pun, termasuk di Indonesia. Disebabkan oleh tendensi mereka yang menekankan literalisme, kaum 'fundamentalis' akan semakin mengalami pemiskinan intelektual. Alternatif-alternatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka yang secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat. Dan, tiadanya alternatif itu pula yang menyebabkan mereka berada dalam kubangan absolutisme dan pemaksaan kehendak.
Dalam konteks itu, bisa dimengerti kenapa para sarjana dari ketiga paradigma di atas juga menganggap fundamentalisme Islam sebagai ancaman utama terhadap demokrasi, kebebasan warga, hak-hak perempuan, kemajuan scientific, hak-hak sipil kelompok minoritas etnik dan agama. Bahkan, banyak kalangan sarjana muslim menganggap kaum fundamentalis sebagai suatu ancaman terhadap Islam itu sendiri.
Kasus berkembangnya fundamentalisme Islam di Indonesia dapat menjelaskan kecenderungan itu. Sepak terjang kelompok-kelompok yang kerap mengatasnamakan Tuhan di atas bumi ini bukan hanya menyulitkan perkembangan demokrasi yang hendak kita bangun dengan susah payah, melainkan juga menyulitkan posisi Islam sendiri di tengah pergulatannya untuk turut memberikan makna terhadap masa depan negeri ini.
Dengan kata lain, kehadiran mereka justru menjadikan Islam berada dalam posisi 'tertuduh'. Karena itu, tugas yang menantang kita kini adalah mencari jawaban kenapa kekecewaan dan kefrustrasian mereka itu kerap dikemas dengan idiom-idiom keagamaan. Sebenarnya, motif-motif di luar agama, seperti terjadinya kekerasan struktural atau kekecewaan masyarakat yang tercerabut secara budaya, ekonomis, dan politis sebagai sumber utama konflik. Meski demikian, bahasa dan simbolisme agama kerap kali menjadi cara untuk menafsirkan realitas. Sejumlah mitos, hukum, atau asumsi metafisika telah begitu menghunjam dalam keyakinan umat beragama, sehingga walaupun akar konfliknya ketidakpuasan politik dan ekonomi, perlawanan terhadap ketidakadilan diekspresikan dalam bahasa agama.
Tanpa memahami bahasa spiritual kefrustrasian dan kemarahan yang menggiring pada penggunaan kekerasan, kita sesungguhnya tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.***
Monday, March 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment