Monday, March 30, 2009

Semiotika-2

MENGGAGAS SEMIOTIKA AL QURAN

Pertama, selalu mempertanyakan pandangan "kesadaran umum" atas sesuatu, karena "kesadaran umum" sebetulnya adalah "pengetahuan bersama" (communal sense); pendapat dan perspektif yang lazim dari suatu kelompok.

Kedua, sudut pandang "kesadaran umum" itu biasanya didorong suatu kepentingan budaya yang memanipulasi kesadaran kita demi alasan-alasan ideologis.

Ketiga, budaya cenderung menyembunyikan ideologinya di balik selubung "kodrat", dengan menyatakan apa yang dilakukannya sebagai "kodrati" (natural) dan menuduh praktik budaya yang menentangnya sebagai "akodrati" (unatural).

Keempat, dalam menilai setiap sistem praktik budaya, kita harus memperhitungkan kepentingan-kepentingan yang ada di belakangnya.

Kelima, kita tidak memahami dunia ini secara langsung, melainkan memandangnya melalui penapis suatu sandi semiotis atau kerangka mitos. Keenam, tanda merupakan sejenis barometer budaya, yang memarkai gerakan dinamis sejarah sosial.

Enam prinsip semiotika itu membawa Al Quran kepada pengertian sebagai teks yang tidak lahir dari ruang kosong. Dengan kata lain, Al Quran "terkonstruk" secara kultural dan "terstruktur" secara historis.

Sejak turunnya, Al Quran telah berdialog dengan realitas. Banyak sekali peistiwa yang mengiringi turunnya ayat yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umat waktu itu. Jadi, di sini, teks Al Quran dapat dipahami sebagai produk budaya (al-muntaj [al-tsaqafi]), yaitu ketika teks mengonstruksi diri dalam sistem budaya yang mendasarinya, dengan demikian merefleksikan sistem budaya itu. (Nasr Hamid Abu-Zayd: 1993).

Pada sisi lain, Al Quran juga telah menciptakan perubahan makna yang mentransformasikannya dari makna linguistik dalam bahasa Arab kepada makna baru yang disebut makna syar'i. Pada tataran ini, teks Al Quran menjadi produsen budaya (baru) [al-muntij al-tsaqafi], yaitu ketika teks merekonstruksi dan mentransformasi sistem budaya tempat ia sebelumnya terbentuk.

Analisis semiotika terhadap Al Quran, dengan demikian, berupaya keras untuk melihat setiap teks dalam perbedaan masing-masing. Ini tidak berarti, teks-teks itu dilihat dalam individualitasnya yang tak terperikan, tetapi sebagai sesuatu yang ada dalam sebuah jaringan terbuka, yang merupakan infinitas tertinggi bahasa dan yang terstruktur secara terus-menerus. Analisis semacam ini, menurut Barthes, tidak lagi mencoba mengatakan dari mana datangnya teks (seperti dalam kritik historis), tidak lupa bagaimana terbentuknya (seperti di dalam analisis struktural), tetapi bagaimana teks terbungkus, meledak, dan menyebar -dengan jalur-jalur terkode apakah teks itu bergerak, meletup.
***

SECARA cara baca yang relatif baru, semiotika Al Quran belum menemukan bentuk metodologi yang mapan. Paling tidak, ini disebabkan karena -secara umum- bahasa keagamaan melebihi bahasa komunikasi. Ketika manusia berdoa dalam suatu bahasa keagamaan apa pun, baik Al Quran, Alkitab, Injil maupun yang lain, ia tidak mengungkapkan diri dengan kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan keseluruhan ritual, yang menciptakan suatu keserempakan kenyataan-kenyataan yang bermakna yang tidak dapat diabaikan oleh seorang analis bila ia hendak mempertimbangkan semua tingkat pemaknaan bahasa keagamaan.

No comments: