Monday, March 30, 2009

Agama, Moralitas, dan Negara

Mun'im A Sirry, Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta

HINGGA akhir abad ke-20, berkembang suatu pandangan bahwa negara liberal harus secara sistematis bersikap netral terhadap persoalan agama dan moral. Namun, kita dikejutkan oleh bangkitnya fundamentalisme agama dengan pengaruh yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Persoalannya, apakah kedua perkembangan ini saling terkait, dan bagaimana seharusnya menempatkan moralitas publik dalam suatu masyarakat beragama?

Memang tidak mudah untuk mendefinisikan hubungan ideal antara politik, moralitas, dan agama. Para teoritisi liberal terdahulu berupaya melepaskan civil society dari kekusutan agama yang destruktif. Meski demikian, mereka tetap berasumsi bahwa civil society membutuhkan moralitas, dan moralitas yang efektif secara publik bersumber dari agama.

Umumnya, kalangan tradisionalis tidak setuju bahwa negara bisa netral sepenuhnya terhadap urusan agama dan moral. Intervensi negara dalam domain agama tetap diperlukan, agar kemungkinan terjadinya konflik agama dapat diredam. Sementara itu, kaum liberal memandang intervensi negara ke dalam ruang privat justru akan membawa agama ke wilayah publik, yang bisa menyebabkan agama menjadi alat justifikasi tindakan represif negara.

Untuk memahami dua arus pemikiran yang berpengaruh terhadap kompleksitas hubungan agama dan negara ini, kita bisa meminjam kategorisasi yang diperkenalkan filosof John Locke dalam bukunya, Letter Concerning Toleration (1983). Persoalan utama yang ingin ditawarkan Locke dalam bukunya adalah hubungan seharusnya antara agama dan tatanan sosial (civil order). Berlatar kekisruhan agama pada masanya, Locke bermaksud menjawab pertanyaan, dapatkah suatu versi kebenaran agama yang diyakini seseorang dipaksakan melalui kekuatan negara?

Dalam kaitan pertanyaan itu, Locke menawarkan doktrin toleransi sebagai upaya membangun kembali kepatutan politik dalam konteks adanya ketidaksepahaman mengenai persoalan-persoalan agama yang mendasar. Berpijak pada doktrin-doktrin Kristen, Locke mengajukan beberapa argumen untuk menyokong gagasan toleransi agama, yang bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori. Pertama bisa disebut 'netralitas epistemologis' (epistemological neutrality). Manakala terdapat ruang perbedaan keagamaan cukup luas, kata Locke, kita tidak memiliki pengadilan rasional yang bisa memenangkan salah satu klaim yang berseberangan. Ini tidak berarti tak ada kebenaran agama. Tapi, tidak ada hakim 'di atas bumi' yang kompeten menentukannya (hlm 32). Dengan epistemologi agama ini Locke menampik kemungkinan pemaksaan agama secara publik.

Kedua, sebut saja 'netralitas ontologis'. Meminjam bahasa Locke, 'agama yang benar dan menyelamatkan terdiri dari persuasi akal ke dalam, yang tampaknya tidak diterima Tuhan. Begitulah watak alami pemahaman, yang berarti hal itu tidak bisa dipaksakan untuk menggantikan pemahaman orang lain dengan kekuatan luar' (hlm 27). Hal ini berarti, Locke sama sekali tidak menganggap kebenaran agama sebagai ilusi. Bahkan, kendati kebenaran subjektif agama dapat dibangun, tetap saja senjata pemaksaan tidak dapat membuktikan keyakinan agama sebenarnya.

Ketiga, juga terkait watak pemaksaan (coersion), namun dari sisi moralitas bukan ontologis. Locke sendiri menyebutnya dengan istilah character-based neutrality. Argumennya bisa dijelaskan sebagai berikut: Mereka yang mempergunakan negara untuk menindas perbedaan paham, umumnya menegaskan bahwa motif mereka adalah kecintaan terhadap kebenaran dan untuk menyelamatkan jiwa dari kesesatan. Padahal, kenyataannya, tindakan mereka lebih banyak didorong oleh nafsu kebengisan dan syahwat demi kekuasaan.

Jika diringkas, tesis Locke dibangun di atas tiga proposisi. Karena kebenaran agama tidak dapat diketahui secara pasti, maka upaya untuk memaksakan kebenaran melalui pemaksaan tidak memunyai pembenaran rasional. Jikapun kebenaran agama dapat ditetapkan, keyakinan hati tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan eksternal. Dan, jikapun pemaksaan itu bisa berhasil, namun tetap tidak dibenarkan melakukannya.

Dalam kaitan perdebatan soal 'netralitas' negara, kaum tradisionalis umumnya berargumen bahwa epistemological neutrality tidak seluas yang dibayangkan, karena jarak kontroversi moral dapat diatasi secara rasional. Mereka juga menolak argumen character based-neutrality, karena tujuan negara bukan mendominasi, melainkan mengoreksinya.

Bila tidak dipahami secara benar, perdebatan ini mengesankan bahwa pandangan kaum liberal muncul dari ruang kevakuman moral. Padahal, jika ditelusuri secara simantik, sesungguhnya mereka bermaksud membuat distingsi yang jelas antara wilayah negara dan agama. Sebagaimana dikemukakan sosiolog Peter Berger, diferensiasi itu diperlukan agar masing-masing mengisi wilayahnya sendiri. Dalam negara liberal, wilayah agama memang sempit, tapi justru dengan itu agama berkontribusi secara konstruktif.

Banyak pemikir teori demokrasi, seperti Alexis de Tocqueville, masih menempatkan agama dan moralitas publik pada posisi penting dalam kehidupan berbangsa untuk suatu negara seliberal Amerika Serikat. Amerika, katanya, merupakan tempat di mana agama menduduki posisi terhormat, dan pada saat yang sama Amerika menjadi tempat paling bebas di atas bumi (Democracy in America, vol 1).

Karena itu, netralitas sejatinya dipahami sebagai nonintervensi negara terhadap urusan-urusan privat. Dan, agama yang berada di wilayah privat juga tidak sibuk mengurus hal-hal yang bukan urusannya. Hanya dengan pemisahan tegas seperti ini, agama akan tampil menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Manakala agama telah menemukan ruangnya yang pas, maka moralitas publik akan berfungsi sebagai standar kemaslahatan publik, sehingga negara terhindar dari tindakan koersif atas nama kekuasaan.

Jika kita setuju dengan hipotesis bahwa agama juga dapat empowering demokratisasi, maka pertanyaan tersisa adalah agama macam apakah itu? Apakah agama yang mengurusi wilayah lain atau agama yang mengurusi wilayahnya sendiri? Meminjam istilah Jose Casanova (1994), public religion atau private religion?

Banyak kalangan berpendapat, penggiringan agama ke ruang privat justru menyebabkan agama mandul. Bisa saja itu benar adanya. Namun harus juga ditegaskan, belum ada penelitian yang menunjukkan korelasi positif antara agama publik dan produktivitas. Bahkan jika mau melirik (kemudian belajar) ke Barat, suatu truisme bahwa agama pasca-Percerahan Barat ditandai meluasnya privatisasi. Yakni, adanya kecenderungan makin meningkat untuk melihat agama sebagai masalah etika personal privat dan bukan tatanan politik publik.

No comments: