Monday, March 30, 2009

Fundamentalisme, Politisasi Islam

Fundamentalisme, Politisasi Islam

dan Islamisasi Politik:

Di Balik Inferioritas dan Ketidakberdayaan Umat Islam

Prolog

Meskipun diderivasi dari asal kata yang bisa berarti kebaruan ataupun orisinalitas, fundamentalisme dipakai dalam pengertian yang sama sekali berbeda dari kata asalnya. Fundamentalisme adalah suatu pengertian yang menunjuk pada mazhab atau ideologi tertentu, yaitu pandangan atau pola pikir yang menempatkan teks agama ataupun teks mazhab sebagai referensi utama yang bersifat absolut dan final. Dengan demikian tidak seluruh mazhab yang merujuk kepada sesuatu yang fundamental disebut fundamentalisme. Ia disebut fundamentalisme jika perujukan tersebut menjadi suatu pola pikir yang monolitik dan absolut.

Oleh karenanya pengertian fundamentalisme Islam tidak selayaknya dikacaukan dengan suatu gagasan yang merujuk pada referensi fundamental seperti ayat Quran, teks Hadis, dan pendapat ulama sesuai dengan tuntutan realitas kekinian. Perujukan dimaksud disebut fundamentalisme jika referensi fundamental dipahami secara literal dan menerapkan pemahaman literal tersebut dalam realitas kekinian secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perubahan perubahan dan tuntutan kekinian. Dan cara pandang ini kemudian menjadi pola pikir permanen yang juga diterapkan dalam persoalan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian fundamentalisme dapat dipahami sebagai suatu sistematika berpikir yang mengabaikan realitas kekinian dan lebih menengok kepada referensi tekstual masa lalu dengan cara baca yang literalis dan absolutis. Dengan kata lain fundamentalisme adalah upaya untuk memaksakan penerapan teks agama dan yang sejenis dalam segala aspek kehidupan dan kemasyarakatan sehingga teks agama menjadi satu satunya parameter fundamental bagi seluruh perilaku, hukum, dan nilai, tanpa mempertimbangkan tuntutan kekinian. Karena itu fundamentalisme juga disebut sebagai pandangan perfeksionis yang tidak dapat menerima pandangan atau sikap lain, dan penolakan terhadap pandangan lain tersebut acap bermuara pada apostasi, dan penghilangan nyawa. Pada akhirnya fundamentalisme menjadi pandangan yang membagi dunia ini menjadi dua potongan dengan garis demarkasi yang jelas: halal dan haram, mu’min dan kafir.

Seperti lazimnya suatu aliran, dalam fundamentalisme ada kelompok ekstrem dan kelompok moderat. Salah satu yang bisa disebut sebagai fundamentalisme ekstrem adalah kelompok “at-Takfîr wa al-Hijrah”. Dalam salah satu buku pegangan mereka “at-Tawassumât” dapat kita lihat cara pandang sejarah yang pararelistik absolut. Pandangan ini lahir dari pembacaan teks Quran dan Hadis yang literalistik. Bahkan kelompok ini mencoba menafsirkan dan mengubah realitas kekinian sesuai dengan implikasi pandangan sejarah yang pararelistik absolut. Terhadap ayat “sesungguhnya Allah menciptakan mahluk pada permulaannya kemudian mengulanginya kembali” (Q.S, Yunus: 4) kebanykan mufassir menafsirkannya dengan kebangkitan manusia setelah mati. Tetapi Syukri Musthofa, penulis “at-Tawassumât”, menafsirkan lain. Menurutnya ayat ini menunjukkan bahwa sebagaimana Allah menghancurkan orang orang kafir di masa lalu karena kezalimannya dan sebagaimana Allah memberikan kejayaan kepada orang orang mu’min di masa lalu sepanjang mereka beriman dan beramal saleh, maka Allah pun akan melakukan hal yang sama di masa kini. Jadi apa yang terjadi pada masa permulaan Islam juga terjadi sama persis pada masa kini. Dan karenanya umat Islam, sesuai “at-Tawassumât”, harus mengikuti sama persis seluruh jejak Rasul dan para Sahabat beliau. Tidak ada ijma, qiyas, masalih muraslah, dan yang ada hanyalah “Allah berfirman” dan “Rasul bersabda”. Pandangan ini tak ubahnya teori Nietzsche “kembalinya segala sesuatu”, tetapi dikemas dalam perspektif agama. Kelompok “at-Takfîr” ini memang begitu dalam tenggelam dalam literalisme dan fundamentalismenya. Dan secara substantif kelompok ini tidak berbeda jauh dengan aliran Qutbiyah (penganut sayyid Qutb) dan berbagai Jamaah Islamiyah yang menegakkan prinsip “hukum hanya milik Tuhan”. Berdasarkan prinsip tersebut agama menjadi alat penindasan politik, dan para penguasa menjadi wakil wakil Tuhan dan bukan wakil wakil manusia atau masyarakat. Seperti dikatakan Ali bin Abi Thalib “Quran tidak berbicara, tetapi manusialah yang berbicara”. Oleh karena pembacaan kelompok ini menyimpulkan prinsip “hukum hanya milik Tuhan”, maka ia akan menjadi rujukan mutlak dalam segala hal yang berkenaan dengan persoalan negara dan masyarakat. Dan keputusan penguasa agama dan politik adalah keputusan sakral, karena ia menjadi personifikasi teks agama.

Klaim “hukum hanya milik Tuhan” yang personifikasinya adalah negara agama bukan satu satunya pandangan politik kaum fundamentalis. Ada prinsip politik lain dalam kelompok fundamentalis yang disebut dengan prinsip “negara Islam”. Maksud dari prinsip ini adalah bahwa negara dikuasai oleh orang orang sipil dan bukan tokoh agama. Tetapi mereka harus menerapkan syariat Islam secara holistik pada persoalan negara dan masyarakat. Jika ini yang dikehendaki, maka sesungguhnya tidak ada satupun negara Arab yang memiliki undang undang yang bertentangan dengan syariat Islam. Seluruh negara Arab menerapkan dan mengambil inspirasi dari syariat Islam sesuai dengan pembacaan dan kondisi masyarakat masing masing. Hampir seluruhnya menyatakan secara eksplisit dalam undang undang dasarnya sebagai negara Islam. Bahkan sebagian negara menerapkan syariat Islam secara literalis, formal, kaku dan superfisial. Dan secara empiris, penerapan semacam ini terjadi di negara negara Arab-Islam yang terbelakang secara sosial, budaya dan peradaban. Meskipun para penganut “penerapan syariat Islam” mencitrakan diri sebagai kaum moderat, tetapi pada tataran praktis mereka tidak mampu menghindarkan diri tindakan politisasi agama atau agamisasi politik. Mereka menjadi gerakan politik yang bertanding untuk merebut kekuasaan dengan mengatasnamakan agama. Dan ketika gerakan politik mereka berhasil mengendalikan kekuasaan melalui parlemen, maka ujung ujungnya seluruh kehidupan negara harus tunduk pada ketentuan agama baik kepala negara dijabat oleh tokoh agama atau tokoh sipil. Dengan demikian seluruh kebijakan negara akan memiliki sifat sakral.

Oleh karena itu perbedaan aliran “negara agama” yang cenderung radikal dengan aliran “penerapan syariat Islam” yang mencitrakan diri moderat hanyalah perbedaan cara, dan boleh jadi juga perbedaan timing. Tetapi kedua gerakan memiliki tujuan yang sama yaitu penyatuan otoritas politik dan agama. Dalam hal ini pandangan Sunni dan Syi’iy tidak jauh berbeda, meskipun sesungguhnya gerakan Islam politik mewabah dari doktrin Syi’iy. Sesungguhnya Sunny tidak mengenal istilah “wilâyât al-Faqîh” (kekuasaan para pakar hukum Islam) dan kekuasaan agama. Firman Tuhan yang menganjurkan untuk mengambil keputusan dengan merujuk pada apa yang diturunkan-Nya tidak dalam pengertian keputusan judisial ataupun mengimplikasikan keberadaan kekuasaan agama. Apalagi jika menilik perjalanan panjang umat manusia yang menampilkan kisah tragis dari absolutisasi dan sakralisasi nilai dalam dunia politik. Jika kita tidak bisa belajar dari pengalaman sejarah, maka kehidupan politik, sosial dan pemikiran akan mengalami stagnasi, dan kritik atau sikap berbeda dengan penguasa akan berujung pada apostasi dan penghilangan nyawa.

Sulit mengatakan bahwa gerakan Islam politik adalah gerakan revolusioner-populis yang menginginkan perbaikan seperti diyakini sebagian orang. Dimana masyarakat dan dimana solusi yang mereka tawarkan untuk mengakhiri penderitaan masyarakat. Bagaimana disebut revolusioner jika pemikir mereka paling moderat mengapostasi seni ukir dan seni pahat yang dianggap menjelmakan bentuk bentuk manusia. Seolah olah berhala berhala sebagai simbol paganisme yang menjadi musuh dakwah Islam kini menjelma dalam seni pahat. Mungkinkah disebut revolusioner, reformis, dan menegakkan keadilan sosial, kalau orang orang moderat mereka menghalalkan darah manusia berdasarkan pertimbangan subyektif bahwa seseorang telah keluar dari Islam dan negara tidak menegakkan Hadd (sanksi berdasarkan syariat Islam). Masih adakah keberadaban jika ijtihad seorang muslim diapostasi, bahkan ia harus dipisahkan secara paksa dari istrinya. Jika mereka mampu melakukan ini semua sebelum mencapai tampuk kekuasaan, maka apa yang terjadi setelah mereka berkuasa. Yang mungkin terjadi adalah lembaran sejarah manusia paling buruk, paling terbelakang, paling menindas dan paling gelap.

Dikalangan pemuda dan kaum profesional gerakan Islam fundamentalisme mendapatkan sambutan cukup baik. Keberhasilan ini tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi dan politik negara negara Arab-Islam yang terpuruk. Umat Islam mengalami keminderan dan kehilangan identitas kebangsaan maupun kebudayaan. Dan tidak diragukan, gerakan Islam politik merupakan reaksi patriotik atas ketidakberdayaan umat Islam menghadapi Barat dan Israel. Gerakan Islam politik adalah mobilisasi moral-spiritual yang mencoba mengembalikan identitas keagamaan setelah ideologi nasionalisme dan gerakan kiri gagal memberikan solusi. Tetapi gerakan Islam politik nyaris tidak memiliki visi pembangunan yang obyektif-komprehensif untuk melepaskan diri dari keterpurukan di segala bidang. Gerakan Islam politik hanya mengusung slogan kering “Islam adalah solusi”. Bahkan sebagian gerakan ini memilih cara cara kekerasan, stagnan, dan tertutup. Boleh jadi slogan tersebut dimaksudkan sebagai mobilisasi yang bertujuan mengembalikan identitas keagamaan yang hilang diantara bayang bayang pembaratan, keterbelakangan, dan keterpurukan. Identitas bukanlah warisan nenek moyang yang tinggal dicari dan ditegaskan dengan mengusung slogan slogan kering. Identitas disamping merupakan warisan masa lalu dalam berbagai bentuk yang tercerahkan juga merupakan upaya pembaruan futuristik yang selaras dengan perubahan pengetahuan, ilmu, dan interaksi dengan tuntutan realitas kekinian. Oleh karena itu persoalan identitas hanya muncul ketika umat mengalami keterpurukan, keterbelakangan, keterasingan, dan pembudakan baik oleh kekuatan internal yang menindas ataupun kekuatan imperialis eksternal. Dan jawaban atas itu bukanlah dengan kembali ke masa lalu, tetapi dengan mengisi dan menegaskan identitas dengan karya dan produksi di berbagai bidang. Dengan demikian sebuah identitas dapat berkembang, kaya kreatifitas, dan menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya inovasi. Identitas tidak lagi menjadi slogan kering dan harapan harapan ke masa lalu yang semakin melupakan umat dari persoalan nyata yang dihadapi.

No comments: