Monday, March 30, 2009

Menepis Hegemoni Teks Agama

Menepis Hegemoni Teks Agama

Oleh Rumadi

NASR Hamid Abu Zaid, seorang pemikir Islam asal Mesir, menyebut peradaban Islam sebagai "peradaban teks" (hadharat al-nash), yaitu sebuah peradaban di mana teks agama menjadi poros utama penggerak dan pembentuk pengetahuan. Dalam peradaban demikian, penafsiran menjadi problem serius yang senantiasa mewarnai tiap penggal sejarah. Atas dasar itu, bisa dipahami bila dalam Islam muncul beribu jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya.

Ciri utama yang amat menonjol dari kitab-kitab tafsir itu adalah-pinjam istilah 'Abid al-Jabiri-lebih bercorak bayani dengan menundukkan nalar dan realitas kepada teks. Artinya, secanggih apa pun nalar manusia dan serumit apa pun realitas sosial harus senantiasa ditundukkan oleh teks. Proses penundukkan nalar dan realitas itu sering dipandang sebagai keharusan keberimanan, menjaga kesucian teks serta bukti kebenaran wahyu. Cara pandang demikian berimplikasi terhadap apa yang disebut sebagai "kebenaran". Kebenaran selalu diukur dengan (makna leksikal) teks, tidak ada kebenaran di luar teks. Kalaupun dengan nalar manusia bisa mencari kebenarannya sendiri, tetap saja harus dikonfirmasi kepada teks. Kalau dalam proses konfirmasi itu dianggap gagal, maka apa yang dikatakan nalar sebagai "kebenaran" dengan sendirinya gagal pula.

Dalam tradisi keilmuan Islam, model pemahaman teks seperti ini dianggap sebagai standar ilmu keislaman yang telah melahirkan sejumlah disiplin ilmu seperti ulm al-Qur'an, 'ulm al-hadis, tafsir, fiqih, teologi, dan sebagainya. Model "standar" ini pula yang lalu membentuk struktur tradisi masyarakat Islam. Sejumlah ilmu itu belakangan menjadi penyangga utama ortodoksi di mana ilmu sudah dibatasi sedemikian rupa, sehingga pengkaji Islam tidak boleh keluar dari "rambu-rambu" yang sudah disusun ulama zaman lampau. Melanggar rambu-rambu itu dapat dianggap melanggar Islam. Proses ini berlangsung dalam waktu lama sehingga Islam menjadi "wacana resmi dan tertutup", kaidah berpikir dibatasi sedemikian rupa agar tidak merusak dan mengganggu kesucian Islam.

Dalam waktu cukup lama, studi Islam sebenarnya tidak mengalami perkembangan berarti. Meski dalam rentang itu ada banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu, namun sebagian besar isinya berbentuk elaborasi (syarah, hasyiyah) atas karya-karya sebelumnya dan sedikit sekali-untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali-yang berani mengkritik dan melampaui paham yang dimapankan itu.

Meski demikian, apa yang sudah dihasilkan para ulama masa lampau harus dihormati, karena itu merupakan sikap mereka untuk mengambil tanggung jawab zaman. Tentu tidak fair bila kita yang hidup di dunia yang sama sekali berbeda menyerahkan tanggung jawab zaman ini kepada ulama masa lampau. Karena itu, tidak salah bila kini kita mengambil tanggung jawab zaman sendiri dengan meninjau ulang sejumlah pemikiran yang sudah ada atau merumuskan pemikiran-pemikiran baru yang lebih relevan dengan zaman. Dalam konteks seperti inilah pemikiran tentang tafsir emasipatoris dapat dimaknai sebagai bentuk mengambil tanggung jawab zaman itu.

***

AGAMA pada dasarnya adalah tafsir, yang dalam tradisi Islam identik dengan pergulatan teks agama (Al Quran). Tafsir adalah pemahaman terhadap teks. Dalam khazanah Islam, proses penafsiran ini telah melahirkan berjilid-jilid kitab dengan model berbeda-beda, mulai dari tahlili sampai maudhu'i meski corak nalarnya tetap bayani. Akibat corak nalar ini, teks yang sebenarnya merupakan simbol bahasa dan medium guna menyampaikan sejumlah gagasan dianggap sebagai segala-galanya. Gagasan Tuhan menjadi identik dengan teks itu sendiri. Penggalian makna melampaui teks
menjadi barang tabu, bahkan dianggap "memperkosa" Tuhan untuk mengikuti pendapat manusia.

Upaya menggagas tafsir emansipatoris bisa dituduh seperti itu. Namun, gagasan utamanya adalah bagaimana kita berupaya menangkap ide terdalam Tuhan yang sebagian direpresentasi dan disimbolisasi dalam teks dan bahasa sebagai bentuk partikularitasnya. Dalam kerangka itu, pertama-tama yang harus "dipegang" adalah kesadaran bahwa teks bukan segala-galanya; tidak mungkin semua ide dan gagasan Tuhan dapat terekam dalam medium bahasa karena keterbatasannya; bahasa adalah produk budaya, sehingga dalam batas tertentu teks agama juga merupakan produk budaya, artinya proses kebudayaan punya andil tidak kecil dalam memproduksi sebuah teks. Dengan kesadaran demikian, meski tetap meyakini, ada unsur "kewahyuan" dalam teks agama, hal itu tidak menjadi penghalang untuk "berpikir lain" tentang teks.

Atas dasar itu, ada beberapa unsur metodis yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tafsir emansipatoris. Pertama, historisitas teks. Dalam khazanah tradisional, aspek ini sebenarnya sudah disadari dengan adanya asbab al-nuzul (sebab munculnya sebuah teks) dalam proses penafsiran. Adanya asbab al-nuzul sebenarnya merupakan kesadaran bahwa teks agama tidak muncul di ruang kosong. Ada proses-proses sosial tertentu yang berperan dalam melahirkan sebuah teks. Sayang, dalam tafsir konservatif asbab al-nuzul ini cenderung dipahami secara ad hoc yang diletakkan dalam kerangka nalar bayani itu untuk mendukung paham ortodoksi.

Berkaitan dengan historisitas teks, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses penafsiran: 1) Melakukan kritik sejarah terhadap situasi historis yang melingkupi lahirnya sebuah teks. Kritik sejarah ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu sejarah. 2) Sebagai kelanjutan kritik sejarah, perlu dilakukan analisis sosial, baik yang berkait dengan situasi saat teks lahir maupun situasi sosial yang dihadapi. 3) Kritik isi, melakukan kritik atas muatan makna yang ada dalam teks. Kritik isi ini bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen kritik wacana guna melihat wacana apa yang sebenarnya sedang bekerja dalam teks itu.

Kedua, hermeneutika. Pemahaman aspek kebahasaan yang ada dalam teks dapat didekati secara hermeneutik yang merupakan disiplin yang memusatkan kajian pada upaya memahami teks, terutama teks kitab suci yang datang dari kurun waktu, tempat, dan situasi sosial berbeda, bahkan asing bagi pembacanya. Dalam kaitan ini paling tidak ada tiga elemen pokok hermeneutik, yaitu pengarang (Tuhan), teks, serta pembaca yang masing-masing memiliki dunianya sendiri, sehingga masing-masing seharusnya berhubungan secara dinamis, dialogis, dan terbuka. Karena itu, makna teks tidak pernah tertutup dan selesai, tetapi senantiasa terbuka.

Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang patut diperhatikan: 1) Pengarang atau pemberi pesan (Tuhan). Tuhan sebagai "pengarang" teks ada pada posisi sama sekali berbeda, baik dengan Muhammad sebagai penerima pesan. Tuhan adalah Dzat Maha Tinggi dan Tak Terbatas; sedang Muhammad dan elemen lain yang digunakan untuk menyampaikan pesan (bahasa dan teks) dalam posisi yang serba terbatas. 2) Bahasa dan teks sebagai medium guna menyampaikan pesan wahyu, meski mempunyai keistimewaan, namun ia tetap merupakan produk budaya yang mempunyai sifat terbatas. Di sini, kita tentu boleh bertanya, apakah gagasan Tuhan yang sifatnya Tak Terbatas itu dapat terangkum secara keseluruhan dengan menggunakan medium (bahasa) yang terbatas? Tentu tidak. Menyamakan ide Tuhan hanya sebatas yang terungkap dalam simbol bahasa dan teks sama artinya mengecilkan Tuhan, karena dengan itu berarti kita telah "membatasi" Tuhan, padahal Dia tak terbatas. Dengan demikian, bahasa dan teks ibarat gunung es, makna yang tidak tampak lebih banyak daripada makna yang muncul ke permukaan.

Keterbatasan teks sebenarnya dapat dilihat dari beberapa sifat yang ada dalam teks itu sendiri, antara lain: pertama, teks dalam banyak kasus mempunyai sifat ambigu, karena itu ia selalu membuka kemungkinan adanya pluralitas makna. Kedua, pada saat lain teks bisa menyembunyikan makna. Apa yang terungkap secara eksplisit belum tentu merupakan makna sebenarnya yang ingin disampaikan. Ketiga, teks bisa menunda makna, artinya makna yang ada dalam teks bisa saja baru diketahui pada saat yang tidak dapat ditentukan, karena tidak mungkin ada pesan Tuhan yang disampaikan kepada manusia tetapi hanya Tuhan yang tahu makna dari pesan itu.

3) Audiens, yaitu pihak-pihak yang menerima pesan, baik Muhammad sebagai rasul maupun umat dan generasi sesudahnya. Manusia sebagai audiens yang menerima wahyu Tuhan senantiasa ada dalam situasi yang terus berubah. Dalam membaca teks suci dalam diri manusia ada sejumlah situasi, kemampuan, kecerdasan, referensi, dan sebagainya yang bisa jadi berbeda satu dengan yang lain. Persepsi sebelum membaca teks, vested interest serta pengalaman hidup dan religius akan mempengaruhi seseorang dalam mengungkap makna teks.

Kerangka itu sebenarnya ingin menunjukkan adanya relativitas kebenaran makna teks. Secanggih apa pun proses pencarian makna teks, ia harus diletakkan dalam altar relativisme, sehingga ia senantiasa terbuka untuk dikoreksi (qabil al-taghyir wa al-niqash). Dalam kaitan ini, pencarian makna dapat dilakukan dengan melampaui teks itu guna mengungkap kebenaran lain dari "pucuk gunung es" teks.

RUMADI, Mahasiswa S-3 UIN Syarif Hidayatullah Jakart

No comments: