Monday, March 30, 2009

Fundamentalisme Vs Demokrasi

Fundamentalisme Vs Demokrasi
Oleh Mh Nurul Huda

Samuel P Huntington meramalkan, konflik-konflik ideologi akan bergeser ke
arah konflik benturan antarperadaban, terutama akan terjadi antara peradaban
Islam (serta Konfusianisme) dan Barat dengan munculnya berbagai gerakan
fundamentalisme agama. Meski tesis tersebut terasa berlebihan dan
kontroversial, tak dipungkiri bahwa kini gerakan fundamentalisme benar-benar
bak "monster" yang menakutkan.

Secara sosiologis, abad modern dewasa ini, yang menurut Fukuyama, ditandai
oleh kemenangan rezim kapitalisme dan demokrasi liberal, tak pelak,
membangkitkan kesadaran kritis masyarakat, menyusul apa yang dinyatakan
Weber sebagai telah "meluruhnya" (disenchanment) pesona magis, yang
spiritual dari realitas dunia. Cacat modernitas dan makin longgarnya
nilai-nilai moral menciptakan sebuah kerinduan kembali pada timangan masa
lalu yang harmonis dalam ikatan solidaritas komunal. Inilah yang kemudian
menjadi motif kelahiran gerakan fundamentalisme. Sayangnya, gerakan kritis
dengan tujuan yang amat rasional ini dijalankan melalui cara-cara yang
cenderung irasional, destruktif, dan manipulatif.

Menyebut "fundamentalisme", mungkin memori kita teringat oleh tragedi
kemanusiaan di AS, 11 September 2001 lalu, yang konon didalangi jaringan
terorisme Al Qaeda. Jaringan inilah yang disinyalir mem-back up pemerintahan
Taliban sejak tahun 1994.

Dalam menjalankan pemerintahannya, rezim Taliban mengklaim dirinya menganut
hukum Islam dalam mengelola negara dengan menciptakan tekanan dan
aturan-aturan ketat yang membatasi kehidupan demokrasi di Afghanistan.
Wanita-wanita dilarang beraktivitas pada wilayah publik (politik, ekonomi,
dan pendidikan), sementara hak-hak mereka terbatas pada wilayah domestik
(keluarga, dan agama). Prinsip-prinsip demokrasi, seperti kesetaraan,
kebebasan, keadilan, dan toleransi diabaikan begitu saja. Dan anehnya,
aturan-aturan ini dibentuk atas nama supremasi teks-teks kitab suci. Tak
ayal lagi, fenomena ini menambah citra buruk Islam sebagai agama yang anti
peradaban, anti kebudayaan, anti terhadap tradisi lokal masyarakat, dan
terkesan sebagai agama kaum ekstrimis atau "teroris".

* * *

Memang istilah "fundamentalisme" masih debatable di kalangan akademisi, di
antaranya soal perbedaannya dengan ekstrimisme atau terorisme. Bassam Tibi
(1998), misalnya, menyebut Islam politik sebagai salah satu varian
fundamentalisme. Sedangkan Charles Kurzman (1998) sering mengaitkannya
dengan Islam revivalis, Islamisme, atau Wahabisme. Perdebatan ini memang
wajar terutama karena term fundamentalisme sendiri tidaklah genuin dari
Islam. Melainkan, muncul pertama kalinya sebagai afirmasi gerakan
fundamentalis Protestan di Amerika yang menentang modernisasi dan proses
sekularisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Namun demikian, setiap agama -- khususnya agama-agama Semitis -- pada
dasarnya memiliki kecenderungan berkarakter fundamentalis. (Karen Amstrong,
2000). Ada beberapa ciri yang mendasari kesamaan gerakan fundamentalisme
agama (religious fundamentalism) dewasa ini, yaitu upaya mendirikan
kekuasaan berdasarkan agama, atau atas dasar hukum yang bersumber dari
interpretasi teks suci agama tertentu. Namun dalam kenyataannya, atas nama
keotentikan tafsir teks malah muncul diskriminasi, di mana kebebasan,
identitas, budaya lokal, dan tradisi seringkali menjadi korban.

Bassam Tibi secara tegas menyebut gerakan fundamentalisme agama sama sekali
tidak terkait dengan kepentingan agama, melainkan hasrat politik kelompok
atau individu tertentu. Hal ini serupa dengan kegagalan ideologi komunisme,
misalnya, di Rusia, yang jatuh ke tangan diktator totalitarian, dan
negara-negara yang menganut monarkhi absolut, atau negara modern di bawah
kepemimpinan junta militer atau rezim diktator.

Apa yang saya sebut akhir-akhir ini sebagai "fundamentalisme negara" (state
fundamentalism) yang menggejala pada pemerintahan reformasi yang konon "mati
muda", yang mewujud dalam ekspektasi negara yang hendak menguasai, mengatur,
dan menentukan kehidupan publik melalui kontrol represif atas kebebasan
warga adalah cikal bakal totalitarianisme, yang sesungguhnya memiliki nalar
yang sama dengan fundamentalisme agama. Keduanya memiliki watak anti
demokrasi, atau jika tidak demikian jargon demokrasi yang digembar-gemborkan
hanya kamuflase saja guna mengelabuhi dan menarik simpati rakyat. Pola
kekuasaannya berada di tangan otoritas politik yang sentralistis atau
pemimpin agama yang memonopoli tafsir undang-undang atau teks agama.
Keduanya menganut sistem yang otoriter. Yang membedakan keduanya barangkali
adalah, bila fundamentalisme negara berada di bawah rezim represif atau
berkarakter militeristik, sedangkan fundamentalisme agama berada di bawah
kekuasaan rezim tekstualisme kitab suci.

"Market Fundamentalisme"


Hakikat fundamentalisme, meminjam definisi Mudji Sutrisno dalam berbagai
kuliahnya, adalah globalisasi ide, nilai, makna, identitas (dan juga
kapital/modal) yang memaksakan diri terhadap identitas dan nilai-nilai lain
yang berbeda melalui dan atas nama suatu otoritas tertentu.

Oleh karena itu, klaim kemenangan kapitalisme global yang mengukuhkan
dirinya lewat keniscayaan globalisasi (kapitalisme) dengan segala
"risikonya" (baca: cacat-cacatnya) secara eksplisit membenarkan watak dasar
gerakan fundamentalisme ini. Tidak salah, jika baru-baru ini, George Soros
menyebut gejala krisis ekonomi dunia dan ketimpangan ekonomi yang melanda
negara-negara berkembang diakibatkan oleh apa yang ia sebut sebagai
"fundamentalisme pasar" (market fundamentalism) yang dianut institusi
perdagangan dunia (WTO dan IMF) dalam mekanisme ekonomi dunia. (George
Soros, Penyelamatan Kejam ala Brasil, Tempo, 20 Agustus 2002).

Dalam buku On Globalization (2002), dia mengakui fundamentalisme pasar
merupakan penyokong utama proses globalisasi. Suatu proses yang meletakkan
mekanisme pasar sebagai ajang artikulasi kepentingan individu partisipan
bisnis (kapitalis) guna bersaing menggali keuntungan melalui akumulasi modal
sebanyak-banyaknya. "Market is amoral," kata Soros, "Karenanya pasar tidak
bicara soal kebutuhan publik dan keuntungan bersama, atau bicara soal
baik-buruk, boleh-tidak boleh." Pada prinsipnya, fundamentalisme pasar tak
berbeda dengan free-fight liberalism dalam ideologi ekonomi neoliberal, di
mana pada kenyataannya kekuatan modal besarlah yang menentukan ekonomi
dunia.

* * *

Dari pembabakan dan kesamaan nilai, baik dari watak maupun gerakannya,
ketiga jenis fundamentalisme tersebut di atas berpotensi mengancam
nilai-nilai demokrasi. Ketiganya secara struktural dan substansial
membeberkan karakter dan watak fundamentalisme yang relatif sama. Ciri-ciri
tersebut di antaranya meliputi, adanya otoritas sentral yang mengendalikan
dan memonopoli kekuasaan, wataknya yang anti demokrasi, anti terhadap
kebudayaan dan identitas lokal, serta ketiganya dikendalikan oleh
aktor-aktor atau individu-individu yang memaksakan kepentingan politik
maupun ekonomi kelompok tertentu.

Demokrasi sebagai konsep nilai dan praksis komunikatif yang membebaskan, ia
berorientasi pada terbangunnya tatanan masyarakat yang bebas, setara,
berkeadilan, inklusif, dan toleran dalam rangka terwujudnya kehidupan
masyarakat yang beradab dan sejahtera. Sedangkan pada tataran
subtantif-prosedural, demokrasi membuka partisipasi seluas-luasnya bagi
masyarakat. Jelas bahwa kehidupan demokrasi mengandaikan kebersamaan,
kolektivitas bukan individualitas absolut. Berbeda dengan fundamentalisme
yang egoistis.

Jika dicermati gejala fundamentalisme sejatinya adalah egoisme nilai, ide
dan identitas yang lalu memaksakan dirinya menjadi identitas global.
Masing-masing memiliki otoritas dan keyakinan lalu membangun kekuatan dan
mengklaim dirinya satu-satunya tradisi dan peradaban yang mampu menawarkan
kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana halnya (neo) fundamentalisme agama
sebagai reaksi atas cacat modernitas, sekularisasi dan dominasi Barat yang
lalu secara naif melahirkan kekerasan dan terorisme. Juga, fundamentalisme
pasar (liberalisasi pasar oleh korporasi internasional) sebagai respon
prinsip ekonomi proteksionis neoklasik, yang melahirkan kemiskinan absolut,
kesenjangan negara kaya-miskin, krisis lingkungan, perubahan iklim dan
sebagainya. Demikian juga halnya, fundamentalisme negara di atas.

Radikalisasi Demokrasi


Uraian di atas mengilustrasikan bahwa dunia dan demokrasi tak hanya terancam
oleh fundamentalisme agama, tapi juga fundamentalisme negara dan pasar.
Ketika wajah agama, negara dan pasar mengalami radikalisasi atas nama klaim
"keselamatan" masing-masing, dan menjadi rezim yang menggerogoti kebebasan
masyarakat, bahkan penghancuran terhadap peradaban dan kebudayaan umat
manusia yang beragam, maka detik itulah demokrasi tengah berada dalam
sergapan "ketajaman trisula" yang mematikan.

Maka, yang dibutuhkan kemudian bukan sekadar undang-undang anti teroris,
kampanye perdamaian, dan aliansi-aliansi regional, melainkan suatu a
deepening democracy atau jelasnya "radikalisasi demokrasi", di mana setiap
individu, komunitas, budaya, peradaban saling mengakomodasi dan
berpartisipasi membentuk tatanan dunia yang lebih adil, setara dan tanpa
hegemoni. Seluruh komponen civil society, political society, negara dan
pasar bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses ini. Inilah barangkali
satu-satunya jalan keluar mendasar dari ancaman "fundamentalisme", terutama
di tengah lorong transisi dan krisis humanisme di negeri ini. ***

(Penulis adalah mahasiswa STF Driyarkara Jakarta,
alumnus Ponpes Al Rosyid Bojonegoro, aktif di
Lembaga Studi 164 Jakarta).

No comments: