agama adalah Kasih
Gst Ngr Rai Sujaya
AGAMA-apa pun namanya-sebenarnya mulia dan memuliakan. Karena itu, tak adalah satu alasan apa pun untuk tidak respek, tidak toleran terhadap penganut agama lain. Bila perasaan antipati dan toleransi masih menggantung pada langit hati kita, kita harus segera memeriksa keberagamaan kita, jangan-jangan salah arah, sesat, atau yang kita anut selama ini bukan agama tetapi fiksi pembangkit emosi untuk menumbuhkan daya provokasi dalam hati.
Ciri lain dari sebuah agama adalah selalu ada cinta kasih yang mengalir, yang melandasi bangunannya. Maka, orang-orang suci nan bijaksana mengatakan, seseorang baru bisa disebut sungguh beragama bila di dalam diri orang itu mengalir cinta kasih, sama sekali bukan karena rajin sembahyang, mempelajari buku-buku suci serta selalu memberi derma (bandingkan Narada Bakti Sutra oleh Anand Krishna, 2001 dan Shirdi Sai Baba, Sang Fakir oleh Yoseph Tardjan, 2001).
Mengingat semua agama adalah mulia, memuliakan, dan mengandung cinta kasih, maka sudah seharusnya agama itu dapat menjadi alat pemersatu (integrator) seperti dikatakan Durkheim dalam Stephen Anderson (Waliji, penerjemah, 1995, 555). Jika ia (agama) tampil sebagai pemecah-belah, maka itu bukan agama. Mengapa? Karena ia sudah melenceng dari hakikatnya (J Krishnamurti, 1997, 54).
Lalu, apa yang terjadi hari ini dan hari-hari lalu? Apakah umat beragama (mungkin, tepatnya, yang mengaku beragama) telah bersatu padu, saling mengasihi? Tidak! Yang terjadi, terutama di negeri yang berdasarkan Pancasila dan katanya, menjunjung tinggi kemanusiaan itu tak lebih dari sebuah tragedi kemanusiaan yang mengerikan: kejahatan dari yang berkaliber teri sampai tercanggih terus mewarnai mozaik kehidupan sehari-hari.
Rasa persatuan sebagai sebuah negeri dan bangsa telah pupus, banyak daerah merasa diperlakukan tidak adil atau mungkin karena keangkuhannya hendak memisahkan diri, ingin membentuk negeri sendiri, yang merdeka-entah merdeka dari siapa-dari orang lain atau dari diri sendiri
Pertanyaannya kini, apakah agama yang masing-masing kita anut telah mengalami distorsi dan kegagalan sebagai mediator yang dapat membuat manusia dapat bahu-membahu dan berpadu dalam hidupnya?
Agama gagal?
Bila dicermati, jujur pada diri sendiri, dan tidak mencari kambing hitam atas kegagalan kita, akan didapat jawaban, yang gagal bukan agama, tetapi kita gagal mengerti, memahami, dan mengaplikasi agama dalam kehidupan. Kegagalan kita bisa disebabkan oleh ke-ego-an, keakuan, akuisme dalam diri kita. Dengan keangkuhan diri, kita telah mendusta agama. Apa saja yang harus dilakukan dan telah digariskan oleh agama, diingkari. Bahkan lebih dari itu, sekali waktu dimanipulasi, direkayasa demi pembenar perilaku kita
Para politikus dan pejabat kadang amat fasih memainkan lidah dengan pembenar ayat-ayat agama yang dicomot sana-sini lepas dari konteks, yang hanya untuk mengukuhkan kekuasaan dan mendapat legitimasi dari rakyat, tanpa mempedulikan apakah rakyat bisa makan, ada tempat tinggal, atau sedang tertimpa bencana. Lalu penderitaan dan kesengsaraan rakyat dihiburkan oleh penceramah agama, yang notabene konco-konco pejabat itu. Para penceramah mengatakan, meski secara implisit, penderitaan di sini adalah kebahagiaan di sana.
Melihat kenyataan itu, Marx berteriak: Jangan percaya dengan agama! Agama adalah opium, candu, yang hendak meninabobokan diri kita, yang hendak melenakan kita agar tidak merasakan sakit yang kita alami, tetapi akibatnya amat parah, penderitaan kita akan makin menggunung dengan tanpa kita sadari (Waliji, penerjemah, 1995, 552).
Di sisi lain Nietzche pun pernah mengumandangkan, Tuhan telah mati (Jassin, 1977). Teriakan Nietzche itu sebenarnya berangkat dari kekecewaannya atas otoritas-otoritas yang seenak perutnya memanipulasi agama, dengan menciptakan dewa-dewa atau Tuhan-tuhannya sendiri demi kekuasaan dan legitimasi dari khalayak. (Bandingkan Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, 2001, 27).
Demikianlah, agama bukannya gagal, tetapi digagalkan oleh umat manusia yang angkuh dan congkak serta serakah.
Otoritas agama
Untuk menganulir teriakan Marx dan Nietzsche, manusia harus mengembalikan otoritas agama kepada kedudukan semula, yaitu sebagai media yang lentur dalam arus kehidupan manusia, yang dapat menjadi pegangan atau pedoman umat dalam menjalani hidupnya. Dengan kata lain, janganlah kita memanipulasi, mengambinghitamkan agama demi sebuah ambisi, keangkuhan, dan kecongkakan, tetapi agama benar-benar dituruti kaidah-kaidahnya, niscaya hidup akan menjadi lebih baik.
Lebih dari itu, kita jangan ambivalen dalam meyakini agama sebagai tuntunan perilaku. Maksudnya, di kepala kita percaya, di mulut kita percaya, tetapi di perbuatan jauh panggang dari api. Di mimbar saat memberi ceramah kita mengutuk koruptor, tetapi di kantor kita juga biangnya koruptor. Bila itu yang kita lakukan, kita sebenarnya telah mendusta agama, mendusta keyakinan dan mendusta diri sendiri. Di sini sebenarnya kita telah kehilangan kepercayaan pada diri sendiri.
Memperbaiki masa depan
Betapa pun majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, saya yakin tidak mampu mendamaikan hidup manusia, jika tidak disertai kehadiran agama. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama harus bersatu dalam diri manusia. Tanpa itu, hidup manusia akan timpang: tanpa iptek, manusia lumpuh, tanpa agama manusia buta.
Oleh karena itu, bila kita ingin berada pada masa depan yang penuh harapan dan kenyataan yang layak, apalagi tenteram, sejahtera, dan damai, maka sudah seyogianya kita tidak hanya memburu iptek semata dalam hidup tetapi juga mengimbanginya dengan pemburuan terhadap agama. Ini sebuah kemestian. Mengapa? Karena keseimbangan (Tao of Physics, Fritjof Capra, diterjemahkan Pipit Maizier, 2001) adalah sebuah persyaratan mutlak untuk sebuah kedamaian hidup.
Misalnya, memelihara seorang anak. Betapa pun orangtua itu telah melimpahi si anak dengan materi berlebihan, tetapi bila orangtua tidak pernah peduli kebutuhan batin anak, si anak tidak akan tumbuh selayaknya. Contoh kasus seperti ini, tidak sulit dicari buktinya di masa sekarang. Di banyak tempat, kita saksikan anak-anak berkompensasi (melakukan pelarian), karena tidak dipedulikan orangtuanya.
Keberagamaan
di Indonesia
Secara formal tak disangsikan, hampir seratus persen orang di negeri ini beragama. Tetapi, bila disimak, menyaksikan perilaku bangsa yang begitu jauh dari kaidah-kaidah hukum keagamaan, kiranya tak berlebihan bila saya katakan, keberagamaan bangsa kita baru sebatas nama, muka, atau kulit agama, belum menyentuh esensi agama, yaitu: kasih.
Mengingat hal itu, maka keberagamaan di Indonesia perlu dipertajam, ditukikkan agar menyentuh prinsip dasar agama itu sendiri. Ini adalah tugas kita semua. Kita semua harus mau membelajarkan diri, meningkatkan kualitas keberagamaan setahap demi setahap. Bagaimana orang dapat belajar? Dengan jalan mau membuka diri, mau mengakui diri, bahwa kita masih kurang, belum penuh, masih perlu diisi. Sampai kapan? Sampai kita benar-benar jadi manusia yang penuh welas asih, penuh kasih sayang.
Kapan kita akan penuh dengan kasih sayang? Mari kita jawab dengan seluruh perilaku kita!
* Gst Ngr Rai Sujaya Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar.
Monday, March 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment