Monday, March 30, 2009

Agama Post-Dogmatik

Agama Post-Dogmatik

Zuly Qodir

kompas/agus susanto
DISCOURSE keagamaan di Tanah Air terus berkembang. Sebelumnya berkembang discourse keagamaan modernis, neo-modernis, lalu post-modernis, liberalisme, dan post-tradisionalis. Kini, rasanya perlu juga dikembangkan discourse keagamaan yang lain, yakni post-dogmatik. Discourse sebelumnya mungkin belum tuntas, tetapi melihat paralelismenya, tampaknya tidak jauh beda antara discourse neo-modernis, post-modernis dengan liberalis dan post-tradisionalis. Keempat discourse ini hendak menempatkan agama sebagai enclave yang mendorong toleransi, inklusivisme, dan demokrasi. Pendek kata, keempat discourse itu merupakan respon atas discourse keagamaan yang intoleran, eksklusif, sehingga tidak demokratis dan pluralis.

Ada problem pada keempat discourse keagamaan ini. Paling tidak tiap-tiap pengamat, baik asing, maupun dalam negeri, peneliti dan aktivis NGO memberi "pestanya" masing-masing berdasar kecenderungan yang menyertai keempat kelompok itu. Suka atau tidak, pengelompokan itu amat mungkin subyektif dari para pengamat, peneliti, dan aktivis itu sendiri, sehingga bisa berbeda-beda ketika memasukkan kriteria dan substansi isu yang diperbincangkan.

Meski demikian, tulisan ini tidak akan mengemukakan perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara keempat kelompok pemikiran keagamaan itu, tetapi membahas aspek lain dari wacana dan cara beragama di Tanah Air. Ini mestinya mendapat perhatian serius, karena perkembangan-perkembangan yang muncul bersamaan dengan proses dinamik umat beragama di Tanah Air khususnya.

Gugatan atas Agama

Selama lebih dari 4000 tahun, agama mendapatkan tempatnya dalam kehidupan umat manusia. Hal ini karena fungsi agama masih dapat dirasakan umat manusia. Namun, ketika gagasan tentang agama tidak lagi dirasakan fungsinya di tengah masyarakat yang makin kompleks dengan problem, maka gagasan tentang agama akan berakhir, sehingga Tuhan dalam agama pun menjadi bagian kisah masa silam.

Tuhan yang telah menurunkan agama, merupakan gagasan masa lalu yang absurd. Kita kini membutuhkan gagasan tentang agama dan Tuhan yang mampu "merangkul kemanusiaan" umat manusia, sehingga Dia hadir, demikian tulis Karen Amstrong dalam History of God, 1993. Tuhan, melalui agama-agama harus mampu menyapa keadaan nyata umat manusia. Di sinilah agama akan berfungsi, bukan sebagai candu, dan ganja bagi umat manusia.

Beberapa problem nyata yang dihadapi umat beragama merupakan problem kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah. Di antara problem itu pertama, kemiskinan, kebodohan, dan penindasan. Problem ini bila tidak mampu dijawab penganut agama, jelas akan menjadikan agama hanya sebagai gagasan, dan konsepsi belaka. Agama tidak bisa berhubungan langsung dengan realitas sosial yang menuntut penyelesaian dengan segera.

Problem kemiskinan, kebodohan, dan penindasan makin nyata saat masyarakat kebanyakan dalam keadaan kekurangan, kesulitan mendapat akses pada sumber-sumber yang mampu mengangkat kemiskinan pada kesejahteraan. Tambahan lagi, jika terjadi proses pemiskinan struktural seperti terjadi sepanjang rezim otoriter di bawah Orde Baru. Kemiskinan struktural amat jelas, akibat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di setiap wilayah kehidupan.

Akibat proses pemiskinan struktural, kebodohan merajalela. Masyarakat miskin tidak mampu mendapat pendidikan yang layak. Sumber-sumber ekonomi ditutup oleh sebuah sistem yang tidak adil. Pendidikan hanya menjadi konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Rakyat miskin harus rela menerima keadaan tanpa diperbolehkan protes. Protes atas kebijakan negara, sama artinya dengan menyerahkan diri pada harimau yang siap menerkam, maka matilah dia.

Setelah proses pemiskinan struktural terjadi sistematis, maka penindasan menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyat miskin dan bodoh. Rakyat miskin dan bodoh tak lebih sebagai bahan penindasan, baik struktural maupun kultural. Protes menjadi barang langka, karena saat menghadapi penindasan, rakyat miskin dan bodoh tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Perlawanan pasti kalah, bahkan akan makin menindas, karena di sana tidak ada pembelaan.

Dari sana amat jelas bagaimana kemiskinan, kebodohan, dan penindasan merupakan tiga serangkai gugatan atas agama. Agama hanya akan mendapat tempatnya kembali ketika mampu meresponnya dengan seksama.

Kedua, fundamentalisme-radikalisme. Problem ini ada pada tiap agama monoteisme. Akibat adanya klaim atas keselamatan dan kebenaran, maka agama-agama monoteis saling menegaskan identitasnya untuk "menyelamatkan" orang yang ada di luar kelompoknya.

Fundamentalisme-radikalisme sebenarnya merupakan buah pemahaman, tafsir, dan keyakinan bahwa kebenaran tidak bisa berbeda jalan. Keselamatan tidak bisa bercabang. Dari sana orang yang ada dalam kelompoknya merasa berkewajiban "mempertobatkan" orang yang ada di luar kelompoknya, karena bila tidak diselamatkan akan sengsara oleh kesesatan agamanya.

Munculnya fundamentalis-radikalisme dalam agama-agama sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat pemahaman atas teks, doktrin, atau konsili yang rigit, dan dibakukan sehingga amat formalis, tidak substansialis. Pemahaman atas teks, doktrin, atau konsili hanya dibatasi satu saja, tidak ada kemungkinan lain, meski mungkin pemahaman baru itu lebih mendekati pada pesan doktrin atau teks itu sendiri.

Ketiga, manipulasi agama. Problem ini juga merambah pada semua agama. Manipulasi agama akan amat kentara saat agama merambat pada wilayah publik sebagai wilayah "bebas". Dengan kebebasan yang ada di sana, maka ketika agama masuk di dalamnya, bisa dipastikan tergantung siapa yang masuk. Dari sana akhirnya orang/kelompok yang masuk akan dengan suka cita "memanipulasi agama" demi kepentingan kelompoknya, tanpa mempedulikan akibat yang akan terjadi. Apa yang terjadi selama kampanye-kampanye Pemilu digelar sepanjang Orde Baru, sampai tahun 1998 lalu dengan jelas dapat kita lihat.

Apa yang dilakukan partai-partai politik "berbasis agama", tidak segan-segan "menjual" agama demi kepentingan partainya untuk mendapatkan perhatian massa pemilih. Setelah Pemilu berakhir, massa pemilih ditinggalkan. Agama elite partai itu tidak lagi menggubris konstituennya, yang penting partainya telah mendapat suara dalam Pemilihan Umum. Akibat paling jelas dari manipulasi agama adalah terjadinya militansi negatif dari pemeluk agama, meski hal ini amat berbahaya untuk agama.

Agama "Post-dogmatik"

Dengan mengemukakan tiga gugatan terhadap agama itu, saya ingin menawarkan suatu discourse keagamaan yang lain. Boleh dikata ini sebagai respon atas kegagalan pemahaman keagamaan yang telah berkembang. Tawaran ini tanpa pretensi menjadi alternatif terbaik, tetapi paling tidak menjadikan agama sebagai "berhala baru" yang tidak mampu berpihak pada rakyat kebanyakan.

Apa yang terjadi itu sebenarnya sebagai akibat kesalahan "penjelasan" (bila boleh dikatakan demikian) atas agama. Karena itu, agama kini dan seterusnya harus diberi penjelasan yang lebih memadai sehingga mampu memberi respon positif dan segera atas problem-problem kemanusiaan yang muncul di tengah masyarakat. Tanpa penjelasan memadai, agama tampaknya akan terus berputar dalam kesalahan yang sama, yakni "membela Tuhan" dalam sejarah, bukan membela manusia.

Untuk itu dibutuhkan sebuah discourse baru, minimal sebagai wacana permulaan, atau persiapan bila menghadapi gugatan-gugatan baru yang akan terus datang. Pada saatnya nanti, umat beragama tidak gagap karena belum pernah memiliki pengamalan wacana yang relatif "maju" dari sebelumnya. Penjelasan atas agama yang lebih "maju dan memadai" itu yang saya sebut sebagai pemahaman agama post-dokmatik.

Istilah post-dogmatik sebenarnya bukan istilah asing dalam wacana keagamaan, karena banyak ilmuwan, meski tidak secara eksplisit mengatakan demikian tetapi penjelasan yang diberikan ke arah sana. Di antara ilmuwan itu adalah, Mohammed Arkoun, Farid Esack, Mohammad Abid Al-Jabiri, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, dan Mohammad Mahmud Toha dari kalangan muslim. Sementara dari kalangan nonmuslim bisa disebut Hans Kung, dan Leonard Binder.

Tanpa hendak membedah satu-persatu corak, metode dan implikasi pemikiran ilmuwan-ilmuwan itu, saya ingin mengajak kita semua untuk beranjak pada substansi gagasan discourse post-dogmatik sebagai discourse keagamaan yang penting dikerjakan kini. Terlebih negeri ini sedang dilanda bencana kemanusiaan yang paling besar, pembunuhan atas nama agama, ideologi, kemiskinan akibat krisis berkepanjangan, kebodohan merajalela dan penindasan oleh kelompok-kelompok agama menjadi bagian dalam kehidupan umat beragama.

Pemahaman tentang agama merupakan problem yang ada pada tiap orang beragama, karena untuk mempereoleh penjelasan tentang agama yang bersifat "obyektif" merupakan kesulitan terbesar yang bisa dilakukan. Atas kesulitan ini, yang terjadi adalah adanya perpecahan dan permusuhan pada level doktrin, bukan substansi masalah. Agama berakhir pada simbol artifisial, bukan pada visi dan misi universal.

Untuk menghindari berhentinya konsepsi agama pada tataran simbol artifisial, maka diperlukan penjelasan yang bersifat multi perspektif, multiface, sehingga menghindarkan orang beragama berpandangan sempit, dan parokial. Dengan pemahaman multi perspektif, dan multiface akan menjadikan orang beragama senantiasa berkeyakinan bahwa pemahaman atas agama harus senantiasa diperbarui, tidak mandeg, karena tidak ada pemikiran yang harus dibakukan. Pemahaman agama tidak bisa uniform, tetapi multiform, sehingga menumbuhkan kesadaran-kesadaran baru dalam beragama.

Doktrin, teks, dan konsili dalam agama harus dianggap tidak lebih sebagai "panduan" moral, bukan substansi agama. Substansi agama adalah ketika agama-agama mampu berdialog dengan kondisi riil dalam masyarakat. Dengan demikian tidak ada pembatasan tentang simbol-simbol artifisial. Pendek kata, dalam agama post-dogmatik tidak ada pembakuan atas tafsir teks, doktrin maupun konsili, yang ada adalah perubahan-perubahan terus-menerus sehingga agama bisa terus hadir.

* Zuly Qodir Alumnus PP Al-Munawir Krapyak, kini peneliti Interfidei Yogyakarta

No comments: